Minggu, 10 Januari 2010

Pelacur Kehidupan


Idealisme adalah salah satu kata paling mewah yang ada dalam kamus kehidupan. Tidak semua orang mampu memilikinya, dan diantara yang memilikinya pun, belum tentu semuanya menempatkannya pada posisi yang benar. Tidak sedikit orang yang memiliki idealisme yang kemudian mendudukkannya hanya sampai pada level pengetahuan, belum pada taraf sikap, apalagi mencapai tingkatan perilaku. Sedang orang-orang yang tidak memilikinya, sibuk berlindung dibalik alasan bahwa merasa tidak pantas, atau justru tidak butuh. Mungkin tadinya punya, tapi lantas dibuang.

Kita membutuhkan idealisme untuk mengisi kehidupan. Pada setiap profesi, apapun itu, pasti ada idealisme yang diperjuangkan dan menjadi latar belakang kemunculan profesi tersebut. Dalam kurikulum pendidikan doktoral –tingkatan keilmuan tertinggi yang mampu didefinisikan manusia modern- selalu disertakan mata kuliah filsafat ilmu. Semua calon doktor diwajibkan untuk mengakrabi pernik idealisme dalam bidang keilmuan masing-masing; mulai dari asal-usulnya, bagaimana ilmu tersebut diperoleh, bagaimana ilmu dikembangkan, dan seterusnya. Hal inilah yang kemudian menjadi pembeda absolut antara para doktor dengan sekedar sarjana. Seorang doktor dituntut untuk menjadi kaum terpelajar sejati, ilmuwan tulen yang mampu mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan dan mengisi kehidupan. Tidak seperti para sarjana yang seringkali hanya merupakan ilmuwan tanggung, yang –kebanyakan- hanya didesain untuk menjadi kumpulan tukang, ahli teknis di bidang masing-masing demi menyambung kehidupan, karena tidak semua dikenalkan dengan idealisme profesinya.

Dalam menjalankan profesi apapun, ketika kehilangan idealisme, maka yang kita lakukan hanyalah menyambung hidup, bukan mengisi kehidupan. Kita hanya mencari penghidupan dari keahlian yang kebetulan kita kuasai, dan orang lain tidak. Kasarnya, kita mencari duit dari kelemahan orang lain. Dimana ada kelemahan, ada kebutuhan untuk dibantu, disitulah tambang uang. Jika sudah begitu, maka hanya tipis bedanya antara guru, penulis, pelukis, dokter, pengacara, atau ustadz, dengan para pelacur. Masing-masing menjual asset yang dimilikinya untuk, -sekali lagi- sekedar menyambung hidup. Para guru dan dosen menjual ilmunya, para penulis menjual keahliannya merangkai kata, para pelukis menjual keterampilannya mengkombinasikan warna, para dokter menjual kepandaiannya dalam bidang pengobatan, para pengacara menjual ilmu hukumnya, para ustadz menjual pengetahuan agamanya, dan para pelacur menjual kelaminnya. Semuanya untuk uang, demi dapat menyambung kehidupan masing-masing.

Sebagaimana kita tahu, pusat peredaran uang adalah di pasar. Maka, jika ingin terlibat dalam lingkaran peredaran uang, kita terpaksa harus takluk pada kemauan pasar. Apapun profesi kita, selera pasar harus menjadi prioritas. Jika kita guru, kita hanya akan meneruskan kebiasaan, mengajarkan ilmu yang melestarikan kekuasaan para penguasa, alih-alih memberikan pendidikan yang membebaskan&mencerdaskan. Jika kita dokter, maka kita akan senang jika pasien datang berobat dalam jumlah berjubel, diresepkan obat, tanpa disertai pemberian pengetahuan bagaimana seharusnya mereka menjaga kesehatan secara mandiri. Atau jika kita ustadz, kita akan dengan senang hati jika diminta memberikan nasihat yang berisi ajakan untuk selalu berbuat baik, tapi enggan ketika diminta melarang ini dan itu. Karena larangan, nahi munkar, bukanlah bagian dari selera pasar.

Bagi orang-orang yang memiliki idealisme dalam kerangka yang benar, pasar akan ditempatkan pada posisi yang selayaknya, tidak terlalu tinggi dan tidak kelewat rendah. Bukan melulu diposisikan sebagai seorang tuan yang harus diikuti kemauannya, dan bukan pula sebagai pihak yang harus dipaksakan menuruti selera pribadi kita, yang juga belum tentu benar arahnya. Terus-menerus merelakan diri mengikuti kemauan pasar adalah serupa dengan melacur. Sedangkan ngotot memaksakan idealisme pribadi tanpa kompromi adalah seperti kastrasi.

Jangan terlalu murah dalam mematok harga idealisme, prinsip, ataupun nilai yang kita yakini benar. JIka kita tidak ingin dianggap sebagai para pelacur kehidupan, silakan perjuangkan idealisme kita masing-masing. Jangan sekedar menjual asset atau bercita-cita menjadi sesuatu hanya demi beberapa lembar rupiah. Jadilah guru yang mencerdaskan, musisi yang tidak selalu ikut arus, penulis yang tidak selalu mengekor kemauan para pemodal media, produser film yang tidak melulu ikut-ikutan tren, dokter yang tidak hanya memperjuangkan kesembuhan tapi juga kesehatan, atau ustadz yang tidak hanya berani ber-amar ma’ruf tapi juga ber-nahi munkar. Janganlah sekedar berupaya untuk menyambung hidup, tapi berusahalah juga untuk mengisi kehidupan.
Wallahua’lam.

Sabtu, 02 Januari 2010

Meneladani Iman Para Sastrawan


Anda semua pastinya sudah mengetahui apa itu mu’jizat. Mu’jizat adalah suatu keluarbiasaan, baik itu berupa ucapan, perbuatan, peristiwa, atau benda yang dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran seorang Rasul. Saya juga yakin jika Anda diminta untuk menyebutkan Mu’jizat salah satu Rasul saja, maka Anda justru akan ngelunjak, pamer bahwa Anda bisa menyebutkan tiga, empat, lima, atau lebih banyak lagi.


Sebut saja bagaimana kapal terbesar sepanjang zaman pernah didesain oleh Nabi Nuh, dan bagaimana cas-cis-cusnya Nabi Sulaiman berdialog dengan bangsa Jin dan binatang. Atau peristiwa kegagalan satu-satunya bagi api untuk menuntaskan tugasnya, yaitu ketika dia didelegasikan untuk menghanguskan tubuh Ibrahim. Atau betapa Nabi Musa telah mempesona para tukang sihir Fir’aun dengan tongkat ularnya, Nabi Isa yang sukses menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang buta, serta bagaimana Al Quran telah membuat seluruh sastrawan arab di era Muhammad berdecak kagum.


Allah telah mendesain semua mu’jizat sebagai alat bantu bagi setiap Rasul agar dipercayai kerasulannya serta diyakini ajarannya. Allah juga telah mendiversifikasi mu’jizat masing-masing rasul sesuai dengan kondisi kepada siapa dan dimana dia diutus. Allah telah menetapkan bahwa mu’jizat dari setiap rasul akan membuat kaum yang bersangkutan bertekuk lutut, karena mu’jizat tadi akan menjadikan kemampuan mereka yang tadinya mereka anggap hebat, menyusut dengan segera.


Kita ambil contoh Nabi Musa. Pada rezim Fir’aun, sihir adalah gaya hidup, dan menjadi salah satu penentu martabat seseorang. Seorang magician alumnus the Master yang cuma bisa main kartu, mungkin cuma akan jadi petani gabah di jaman Fir’aun karena saking ceteknya ilmu sulap yang dia kuasai. Sebab, pada kurun itu ilmu sihir mencapai level tertinggi yang bisa dicapai manusia, dan para penyihir sedang berada pada era keemasannya. Nah, pada kaum inilah Musa diutus, lengkap dengan mu’jizat tongkat ularnya, yang kita tahu kemudian berhasil mengkandaskan ular-ular mungil hasil kreasi para penyihir kerajaan Fir’aun. Dan siapakah yang pertama beriman kepada agama Musa? Para penyihir tadi. Mereka bersujud seketika itu juga. Karena mereka mengetahui bahwa sihir ala Musa bukan sihir yang konvensional.


Contoh kedua, Nabi Isa. Isa lahir pada jaman ketika ilmu kedokteran arab sedang maju-majunya, dan masyarakat kala itu sangat menghargai keberadaan para tabib (dokter). Masyarakat arab-palestina pada waktu itu dipenuhi dengan tabib-tabib kelas wahid jika dibandingkan dengan masyarakat lain di seluruh dunia. Ketika itu, seorang tabib memiliki kedudukan yang tinggi di mata masyarakat karena keilmuannya dan kemampuannya menyembuhkan orang sakit. Ketika Isa datang dengan kelihaiannya menyembuhkan kebutaan, bahkan menghidupkan orang mati, maka hebohlah seluruh Palestina. Dan Anda pasti juga sudah bisa menebak siapa yang paling pertama menyatakan keimanan pada Isa. Yak, betul. Para tabib tadi. Sama seperti para penyihir kerajaan Fir’aun, para tabib itu mengetahui betul bahwa skill medis Nabi Isa sudah melampaui limit kemampuan yang bisa dijangkau manusia.


Nah, sekarang kita lihat Muhammad, dengan mu’jizat terbesarnya –Al Quran-. Masyarakat arab pada masa diutusnya Muhammad adalah komunitas para pujangga yang memiliki stok sastrawan berkelas dengan jumlah bejibun. Siapa yang menguasai sastra, hafal berbagai syair, maka dialah yang paling mulia. Dan untuk masyarakat seperti inilah Al Quran diturunkan, untuk masyarakat yang menomorsatukan sastra, budaya baca dan ilmu. Kejadiannya pun sama persis seperti Musa dan Isa, dimana yang pertama kali menyatakan beriman kepada Muhammad adalah orang-orang yang mengerti sastra, dan orang-orang yang memiliki ilmu, seperti para pendeta. Karena merekalah yang paling memahami bahwa Al Quran dan isinya bukanlah sesuatu yang sembarangan.
Hingga saat inipun, di masa kita, budaya literasi, penguasaan ilmu dan informasi merupakan salah satu parameter paling penting yang menentukan posisi seseorang. Siapa yang menguasai ilmu, memiliki akses informasi, maka dialah yang memiliki peluang terbesar untuk maju. Maka dari itulah AlQuran masih tetap relevan sampai sekarang, dan seterusnya.


Jika kita merasa keislaman kita masih pada taraf abangan, setengah hati, masih trial, atau belum full version, mungkin kita perlu mengevaluasi minat kita terhadap sastra dan kecintaan kita pada ilmu dan budaya baca. Sebab, jangan-jangan karena minat kita yang kurang terhadap sastra dan penguasaan keilmuan kita yang minimal, maka kita tidak mengetahui betapa istimewanya Al Quran.


Bagi saya pribadi, contoh konkretnya tidak perlu jauh-jauh. Saat di bangku kuliah, orang yang kami panggil ustadz di angkatan kami adalah seorang sastrawan, seorang pujangga. Orang yang memiliki kepribadian paling terjaga, kafa’ah keislaman yang paling mumpuni, dan bacaan Quran yang paling tartil, adalah orang yang sejak kecil tergila-gila dengan sastra dan dunia kata-kata.
Di luar sana pun, tidak jarang kita temukan orang-orang yang akhirnya masuk islam dan mengakui keluarbiasaan Al Quran dengan seyakin-yakinnya adalah para Profesor dan Ilmuwan kawakan. Karena mereka mengetahui bahwa Al Quran sangat sejalan dengan pengetahuan, bahkan telah melampaui perkembangan ilmu hingga beberapa abad ke depan.


Nah, apakah saat ini Anda masih belum terkesima dengan Al Quran dan belum bisa menerima islam sepenuh hati? Jika iya, bisa jadi hal ini karena Anda kurang intim dengan sastra, kurang menginternalisasi budaya baca, atau bukan penggemar ilmu pengetahuan.
Wallahua’lam.

Selasa, 29 Desember 2009

Integrated Community Empowerment Program (ICE-Program)®


Pemberdayaan Komunitas Terintegrasi
by: Hilmi Sulaiman Rathomi, MD

Rasionalisasi:
Penatalaksanaan masalah sosial di masyarakat harus dilakukan secara holistik, ekliktik, dan komprehensif. Setiap individu harus dijamin dapat memenuhi kebutuhan hidup primer dan memiliki akses kebutuhan dasar, dan jaminan tersebut harus terintegrasi. Antara satu jaminan/fasilitas saling menjadi syarat bagi jaminan yang lain dan saling terkait.
Mobilitas vertikal lintas generasi hukumnya wajib. Karena itu, lingkaran setan mata rantai kemiskinan harus diputus. “Orang tua boleh supir angkot, tapi anaknya minimal mesti jadi pilot”

Tujuan Program:
Pemberdayaan komunitas kurang mampu secara terintegrasi. Hasil akhir yang diharapkan adalah komunitas sejahtera, yang minimal mampu memenuhi kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) dan memiliki akses kebutuhan hidup dasar (kesehatan dan pendidikan).

Komponen Program:
• Education Empowerment
• Health Empowerment
• Economic Empowerment
• Social Empowerment

Fasilitas dan Persyaratan:
1. EduPower
Fasilitas: Mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), wajib belajar (WAJAR) 12 tahun
Syarat:
- Imunisasi anak lengkap
- Orangtua bekerja
- Keluarga melakukan general checkup sesuai jadwal
2. HealthPower
Fasilitas: Mendapat imunisasi dasar lengkap, general checkup berkala, asuransi kesehatan
Syarat:
- Anak mengikuti PAUD dan WAJAR
- Orang tua bekerja
3. EcoPower
Fasilitas: Memiliki pekerjaan
Syarat:
- Anak mengikuti PAUD dan WAJAR
- Imunisasi anak lengkap
- Keluarga melakukan general checkup sesuai jadwal
4. SocialPower
Fasilitas: Mendapatkan rumah/tempat tinggal yang sehat dan layak huni
Syarat:
- Orang tua bekerja
- Anak mengikuti PAUD dan WAJAR
- Imunisasi anak lengkap
- Keluarga melakukan general checkup sesuai jadwal

Algoritma Program:
• Pemilihan kawasan binaan (RT/RW)>>pengumpulan data kependudukan/pemetaan penduduk>>klasifikasikan menjadi 2: mampu dan kurang mampu
• Penduduk kurang mampu>>informed consent program>>mulai dengan pemberian imunisasi dasar pada anak, PAUD, dan Sekolah (sesuai usia anak masing2)>>evaluasi selama 3 bulan
• Selama 3 bulan, para orang tua diberikan pelatihan ketrampilan kerja sesuai bidang yang akan ditekuni masing2
• Jika hasil evaluasi setelah 3 bulan:
o Baik>>berikan pekerjaan kepada orang tua>>evaluasi imunisasi, PAUD, sekolah (pada anak), dan performa pekerjaan (orang tua)>>evaluasi 3 bulan>>jika hasil baik>>berikan perumahan layak huni dan sehat>>evaluasi dalam 3 bulan>>berikan jaminan kesehatan>>evaluasi secara berkala
o Buruk>>intervensi orang tua>>jika berhasil, mulai program dari awal>>jika gagal>>sanksi sosial untuk orang tua>>anak dipindah, diberikan orang tua asuh

Keterangan:
1. Orang tua bertanggung jawab sepenuhnya pada anak masing2. Ketika anak tidak sekolah, tidak imunisasi, atau melakukan kewajiban lain, maka sanksi akan dikenakan pada orang tua
2. Semua fasilitas yang diberikan adalah saling terkait, dan semua persyaratan harus dipenuhi. Jadi, untuk mendapatkan rumah sehat dan jaminan kesehatan (indikator kesejahteraan), orang tua harus bekerja, dan untuk bekerja, orang tua harus memastikan bahwa anak mengikuti sekolah, dan agar anak boleh mengikuti sekolah, anak harus dipastikan telah mendapat imunisasi dasar lengkap.

Special Issue: EcoPower
• Seperti kata pepatah, “Lebih baik memberi kail daripada seekor ikan”.
• Pendekatan pemberdayaan ekonomi, tidak bisa hanya sekedar memberi kail, tapi harus integratif, sesuai kontinuumnya.
• Kira2 seperti ini: Berikan ikan untuk sementara (simtomatik)>>ajari cara memancing>>berikan kail>>sediakan kolam/sungai/tunjukkan tempat yang banyak ikannya>>sediakan pasar untuk menjual ikan hasil pancingan (karena pasti akan sangat membosankan jika tiap hari hanya makan ikan)>>pastikan ada orang yang membeli ikan hasil pancingan
• Setelah memiliki ketrampilan kerja, masyarakat harus diberikan pekerjaan/tempat usaha. Untuk memiliki tempat usaha yang baik, harus terjalin kerjasama dengan pengelola pasar/pusat perbelanjaan. Sebagai kontrapretasi, perusahaan/pemberi kerja/penyedia tempat usaha bisa mendapatkan produk dengan harga murah.
• Agar ada konsumen yang membeli produk, harus diberikan kontrapretasi. Misal, produk karya komunitas tersebut dijual di satu toko semacam toko serba ada, dan konsumennya dibuatkan sistem member. Tiap member secara otomatis akan mendapatkan asuransi kesehatan, yang preminya adalah dengan membeli produk hasil kerja dari komunitas tadi.

Investasi:
• Biaya penyelenggaraan PAUD
• Beasiswa wajib belajar 12 tahun
• Biaya pelatihan ketrampilan kerja
• Pembuatan Rumah Sehat Layak Huni

Kerjasama:
• CSR Korporat bidang Industri >> feedback untuk perusahaan dapat berupa produk komunitas dengan harga murah, dll.
• CSR Korporat bidang Developer/kontraktor

Target:
• Dalam waktu 1 tahun, komunitas binaan telah mampu mandiri, sehingga tinggal dilakukan monitoring dan evaluasi program, dan bisa mencoba ekspansi ke komunitas target berikutnya.

Cumi-Cumi Cikeas


Saya tidak sedang dalam posisi membela Pak SBY, atau justru berada di sisi yang sama dengan Prof.DR.George Junus Aditjondro. Bukan masalah isi buku “Membongkar Gurita Cikeas” yang menggoda saya untuk menulis, karena saya sendiri belum membaca buku tersebut. Toh, kalaupun saya sudah baca, saya tetap tidak punya wewenang ilmiah untuk mengomentari isi buku tersebut. Jika pun ada orang yang memaksa saya untuk mengomentari isi buku itu, tanggapan saya mungkin sama levelnya dengan komentar ala mas2 tukang becak, abang2 tukang ojek, atau mbak2 yang menunggu pelanggan di warung kopi.

Adalah statement Aditjondro yang akhirnya menstimulasi saya untuk menulis. Statement ini mengusik ingatan ketidaksukaan saya tentang fenomena perdebatan melalui buku. Dalam berbagai wawancara, Aditjondro menyatakan bahwa dirinya adalah Doktor, SBY juga Doktor. Maka, jika ingin mengcounter buku yang telah dirilisnya, silakan SBY menulis buku, selesaikan dengan cara ilmiah. Bukan dengan mencekal bukunya, atau justru membawa perkara ini merembet ke meja hijau, meskipun dirinya siap untuk itu.

Jika masalahnya hanya soal haramnya mencekal peredaran buku, itu tidak saya tolak. Pun usulan untuk jangan menyeret perkara ini ke pengadilan, saya setuju 100%. Presiden harus memberikan contoh bagi masyarakat untuk menyelesaikan masalah secara gentlemen. Secara, masyarakat kita sekarang ini semakin cemen dan norak. Kena pukul dikit, ngadu ke pengadilan. Diledekin secuprit, ngadu ke polisi. Dokter salah ngomong satu kata, lapor ke pengacara, dijadikan isu malpraktik. Apakah berarti masyarakat kita semakin sadar hukum? Menurut saya tidak. Itu namanya cemen, pengecut. Karena nggak berani menghadapi sendiri, ngomong sendiri, dan menyelesaikan secara kekeluargaan, jadi mesti bawa2 pengacara. Siapa yang untung? Pengacara lah.

Nah, kalau bukan masalah pencekalan atau pengadilan, berarti yang tidak saya setujui di sini adalah masalah buku dibalas buku. Makin ke belakang, fenomena ini makin marak. Banyak pihak yang saling menghujat lewat buku, berantem bersenjatakan buku. Mulai dari NU lawan Muhamadiyah, Oposisi lawan Pemerintah, agama X lawan agama Y, gerakan IM lawan gerakan S, dst. Yang untung siapa? Penerbit, pebisnis buku. Yang rugi? Masyarakat. Satu, karena tidak mendapatkan konklusi dari perdebatan tersebut. Dua, karena jika ingin mengikuti perdebatan tadi hingga tuntas, masyarakat harus merogoh kantong lebih dalam untuk membeli buku2 yang dirilis oleh masing2 pihak. Pengarangnya? Cuma mendapat kepuasan semu karena bukunya banyak beredar, tapi tidak memberikan banyak manfaat untuk masyarakat. Mereka mengidap salah satu komplikasi narsisme yang paling serius.

Perdebatan melalui buku –menurut saya- akan selamanya kontraproduktif, karena hanya akan menjadi wahana masturbasi intelektual para pengarangnya. Mereka itu tidak mencari kebenaran, tapi pembenaran. Bohong besar jika tujuannya untuk mencerdaskan masyarakat atau membuka mata rakyat. Karena kebenarannya belum tentu teruji, belum tentu telah ditelaah dari sudut pandang yang berimbang. Jika memang ingin mengungkap kebenaran untuk masyarakat, silakan buat forum, duduk bersama, lakukan perdebatan, baru bukukan kesimpulannya, dan pasarkan seluas-luasnya.

Saya terpaksa membawa perkara ini ke persoalan global warming, ke wilayah environment sustainability. Karena seperti yang kita tahu, kertas itu mahal bung! Harus dihemat, direduksi penggunaannya jika kita tidak ingin berkontribusi pada memburuknya iklim dunia. Kalaupun terpaksa menggunakan kertas, jadikanlah dia kumpulan kertas yang bermanfaat, jadikan dia buku2 yang berkualitas. Bukan buku2 yang saling hujat, yang dibuat untuk menuntaskan syahwat penulisnya, padahal belum jelas kebermanfaatannya. Dan bukan pula buku2 plagiat yang tidak berkualitas, yang asal jadi dan hanya dibuat demi melampiaskan narsisme sang pengarang. Saya pernah sangat sebal dengan hal ini. Dulu, saya pernah melakukan kesalahan, tertipu karena membeli buku yang kurang bermutu, 2 kali, macam keledai. Pasalnya, buku yang bersangkutan dicetak ulang dengan judul yang berbeda, cover yang berbeda, oleh penerbit yang berbeda, dan semua buku di toko tersebut masih berplastik rapat. Ternyata, itu buku yang sama yang dulu pernah saya beli, dan jelek. Hhh....

Nah, bagi yang suka menulis, silakan menulis. Tapi tolong, jangan habiskan hutan Indonesia hanya untuk melampiaskan nafsu Anda yang ingin populer, famous, dikenal orang karena telah menulis buku ini dan itu. Bikinlah buku yang bagus, punya nilai tambah, bermanfaat, dan sesuai keahlian masing2. Bagi para penerbit, mbok ya lebih diseleksi karya2 yang masuk. Sekarang ini, untuk jadi penulis buku udah kelewat gampang. Tapi buku yang dirilis juga nggak sedikit yang kelewat nggak mutu. Tolong jangan cuma pertimbangangkan kepentingan bisnisnya, tapi juga manfaatnya buat orang banyak. Dan satu lagi, buat para pengacara, mbok ya jangan kayak orang kurang kerjaan, kurang duit. Semua dipanas2in untuk ke pengadilan. Toh, kami, para dokter juga sedang menggeser paradigma, dari sakit menjadi sehat. Kita sudah tidak lagi berharap banyak pasien, banyak orang sakit, tapi berusaha menjaga masyarakat tetap sehat. Kalian juga lah, silakan edukasi masyarakat, mana perkara yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan, mana yang memang mesti menempuh prosedur hukum. Masalah rejeki mah, udah ada yang menjamin. Asal jangan bergantung pada manusia, tapi bergantunglah pada yang menciptakan manusia.
Wallahua’lam.

Minggu, 20 Desember 2009

Salahnya Ibu


Saya punya perbekalan alasan yang lebih dari cukup untuk akhirnya memutuskan menulis menjelang hari Ibu. Tidak ada niatan saya untuk latah, atau mengekor jutaan penulis lain yang pasti tidak ingin melewatkan momen ini begitu saja. Biasanya, mendekati hari Ibu seperti sekarang ini, hari-hari kita akan dipadati blog2 puitis dan kolom2 melankolis yang akan mengajak kita berkontemplasi betapa kita tak akan mampu membalas lunas cinta seorang ibu. Bahkan sebelum kita berhasil menamatkan satu tulisan saja, tanpa sadar air mata kita telah berhamburan, berebutan untuk keluar melalui sudut2 yang ada. Mata kita mendanau, sebuah telaga kecil telah tercipta dengan sempurna diantara kelopaknya. Air mata itu seperti mengiyakan pepatah bahwa kasih seorang Ibu memang akan sepanjang masa. Dia (air mata itu) seakan hadir untuk menyempurnakan ucapan terimakasih kita untuk Ibu kita, karena diksi seringkali gagal mewakili suara hati secara presisi.

Bukan keahlian saya untuk memerah air mata manusia. Suatu kali pernah saya coba paksakan, tapi akibatnya justru serupa dengan usaha bunuh diri. Belum sempat saya tuntaskan itu tulisan, eh, air mata saya sudah berloncatan tidak karuan. Gagal total.

Beberapa hari lalu saya terpaksa membaca ulang Bumi Manusianya Pramoedya, dan Para Priyayinya Umar Kayam. Terpaksa memang, karena tidak direncanakan. Kebetulan ada seorang teman yang baru saja membaca, dan langsung jatuh cinta –katanya-. Saya punya ingatan yang telanjang bahwa buku2 Pram (dan Umar Kayam) memang meninggalkan kesan yang mendalam ketika saya khatamkan dahulu. Tapi ingatan tentang bagian mananya yang impresif, itu yang dibawa kabur oleh waktu, dicurinya dari gudang memori saya. Mungkin saat itu saya sedang tidak ada di rumah.hehe.Yah, terpaksa harus saya rebut kembali. Saya baca ulang.

Saya tidak ingin membahas tentang betapa perlawanan terhadap feodalisme dibahas dengan brilian di kedua buku itu. Concern saya saat ini, justru tentang para wanita di buku-buku itu, para Ibu yang berhasil lulus casting ala Pram dan Umar Kayam, sehingga ikut diabadikan dalam buku2 mereka.

Keprihatinan saya yang paling dalam seketika muncul ketika mengetahui bahwa ada orang yang mencuri –maaf- celana dalam wanita, divonis harus mendekam di penjara selama 5 tahun. Ada pula buruh yang mencuri 2 kilogram kapas senilai 4 ribu rupiah, mesti dikurung sembari menunggu putusan sidang. Mengapa mereka dihukum? Karena mereka mengaku, pikir saya. Sementara itu, ada orang lain, yang bukan buruh, bukan fakir, bukan miskin, dan tidak sedang kelaparan, mencuri uang milik rakyat bernilai trilyunan. Mungkin kalau uang itu kalau dibelikan kapas bisa dapat berton-ton, atau bisa juga untuk membeli celana dalam yang bisa dipakai oleh seluruh rakyat Indonesia. Dipenjarakah mereka? Boro2. Bisa jadi saat ini mereka sedang dugem atau main golf menghabiskan uang haram itu. Ironisnya, mereka tidak mengaku. Mereka lebih suka berlakon ala bajaj, ngeles, dan menyumpal palu para penegak hukum dan menjejali dompet mereka dengan uang hasil curian juga. Dugaan terbaik saya, minimal ada dua hal yang berperan dalam mencetak mental busuk para pejabat kita. Satu, masalah keberkahan. Kedua, perkara peran keibuan.

Mungkin setengah berbau kebatinan, tapi saya sangat percaya dengan yang namanya berkah. Uang yang tidak halal, berapapun jumlahnya tidak akan cukup untuk membeli keberkahan Allah. Makanan yang tidak baik, didapatkan dari cara yang menjurus haram, sesedikit apapun, bisa mencerabut keberkahan Allah dari konsumennya. Orang yang hidupnya kehilangan keberkahan, jalan hidupnya akan sulit langgeng, dan bisa2 gagal mewujudkan misi untuk menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang lain.
Para oknum pejabat, orang-orang kaya, para Jendral, dan para pembesar lainnya yang sekarang sedang menjadi tirani di negeri ini –prediksi saya- mayoritas adalah anak para priyayi jaman kolonial. Mereka adalah keturunan yang lahir dari kaum yang mengais rejeki dari menggerogoti belulang bangsa sendiri demi kemuliaan diri dan keluarga. Mereka menciumi sandal para kompeni demi mendapatkan jabatan tinggi. Yah, meskipun ada pula golongan priyayi yang memang mulia, yang memahami bahwa meningkatnya kedudukan beriringan dengan meningkatnya tanggungjawab untuk membangkitkan bangsa. Wallahua’lam, na’udzubillahi min dzalik, mungkin dari sinilah keberkahan anak keturunan mereka mulai terkikis.

Nah, yang kedua, masalah peran keibuan. Jika kita membaca sejarah, atau membaca novel sejarah semacam Bumi Manusia dan Para Priyayi, kita akan mudah untuk menyimpulkan bahwa peran perempuan dalam masyarakat Indonesia dahulu sangat terkerdilkan. Bahkan pada kaum priyayi sekalipun. Perempuan telah didesain memiliki hak yang kelewat terbatas, lalu mereka terpaksa mempercayainya, dan kepercayaan itu diwariskan pada anak perempuan dalam keluarga.
Pada masa itu -menurut saya- perempuan hanya diplot sebagai istri, bukan dipersiapkan untuk menjadi Ibu. Jobdesc perempuan disimplifikasi, dan ranah aktivitasnya dikerangkeng sebatas dapur, sumur, dan kasur. Yang paling gawat, potensi utama seorang Ibu sebagai pendidik digunduli dan dipangkas habis. Perempuan jaman itu tidak terdidik, dan tidak disiapkan untuk jadi pendidik. Wajar jika anak-anaknya kemudian seperti tidak pernah mendapatkan sentuhan didikan ala seorang Ibu, yang lebih banyak ke perkara softskills. Produk generasi itu memiliki kualitas budi pekerti yang minimal, mental yang melempem, dosis kejujuran yang kelewat sedikit, keberanian yang tipis, pemahaman agama yang dangkal, dan seterusnya. Sekolah formal bisa jadi akan kesulitan mengajarkan penatalaksanaan semua masalah tadi, tapi sekolah ala Bunda di rumah saya yakin pasti bisa.

Perempuan itu kadang serupa dengan pers. Dahulu dikekang, sekarang bebas. Mungkin memang terinspirasi dari pers, ada juga perempuan yang oportunis dan bertingkah kelewat batas. Macam infotainment, semua perkara di muka bumi dianggap jadi hak mereka untuk disiarkan, ditonton dan didengar seluruh pasang mata-telinga manusia. Pokoknya bebas. Ironisnya, mereka yang mempertuhankan kebebasan itu, walaupun di satu sisi sukses merebut kembali hak-hak perempuan yang sempat tercerabut, di sisi lain kewajiban utamanya justru terbengkalai. Sunnahnya jalan, fardhunya kedodoran.

Perempuan itu, sebelum menjadi apapun profesinya, sejatinya ia adalah calon Ibu. Maka ia harus belajar dan dikondisikan untuk mendapatkan kurikulum pendidikan keibuan. Dari kecil, kebanyakan orang tua kita lebih banyak menanyakan tentang cita2, profesi, mau jadi apa kelak ketika besar, dan mengecek setiap hal yang berkaitan dengan cita2 tadi secara berkala. Sudah mengerjakan PR atau belum, sudah belajar atau belum, dan seterusnya. Tapi perkara lain yang lebih pasti, bahwa si gadis ini akan menjadi Ibu, jarang sekali dikonfirmasi kemajuannya. Apakah si anak ini sudah cukup memahami agama, menguasai ketrampilan manajemen keuangan rumah tangga, memasak berbagai makanan yang memenuhi kebutuhan gizi keluarga, hingga kemampuan mendidik anak. Sayang sekali.

Yasudahlah, itu masa yang sudah lewat. Durhaka rasanya kalo kita menyalahkan orang2 tua kita atas apa yang terjadi pada diri kita sekarang. Urusan kita adalah masa depan, bukan masa lalu. Dalam konteks peningkatan peran keibuan, yang bisa kita perbuat kini adalah hendaknya masing2 perempuan mempersiapkan diri untuk menguasai seluruh kompetensi wajib seorang Ibu. Para lelaki pun tidak bisa tak acuh, berpikir bahwa ini bukan porsinya. Karena bisa jadi anak kita nanti adalah perempuan, yang juga akan menjadi calon Ibu, yang otomatis harus terpapar dengan kurikulum pendidikan calon Ibu. Karena itu, pastikan calon anak kita nanti akan mendapat didikan yang baik, dari seorang Ibu terpilih, yang juga baik.
Jangan lagi mereproduksi generasi bermental tempe, yang bahkan untuk bertobat dan mengakui kesalahan diri sendiripun malu.
Selamat hari Ibu.
Selamat menjadi Ibu dan calon Ibu.
Doa saya untuk seluruh Ibu di seluruh dunia.

Jumat, 04 Desember 2009

Ibrohnya Ibrohim


Tingkat saturasi kita pada tema yang satu ini mungkin sudah maksimal. Mulai dari Idul Adha pertama, bisa jadi khutbah yang disampaikan adalah juga tentang bagaimana kita mengambil pelajaran, hikmah, dan ibroh dari peristiwa qurban yang dieksekusi oleh Nabiyullah Ibrohim. Jika Anda lahir 1400 tahun yang lalu, Idul Adha kali ini mungkin jadi momen ke 1400an Anda mendengar tentang cerita Nabi Ibrohim. Beuhh.... Subhanallah, bisa jadi Anda seharusnya sudah jadi PhD tentang masalah qurban, dan hafal di luar kepala seluruh detail kejadian qurban tersebut. Bosan? Wajar saja. Membaca ulang diktat kuliah 2 kali saja saya sudah bosan, apalagi 1400 kali. Tapi anehnya, sudah 24 tahun ini setiap hari saya makan 3 kali sehari. Artinya, saya sudah makan sebanyak 365x3x24= 26.280 kali! Untungnya saya belum bosan, hehe, alhamdulillah^^

Mengulangi aktivitas kontemplasi tentang ibroh di balik perjalanan hidup Ibrohim setiap tahun, bisa jadi membuat kita jenuh. Tapi, dalam pembelajaran, pengulangan adalah salah satu proses yang paling penting. Jika kita ingin menjadi pakar dalam suatu hal, dengan melakukan hal tersebut secara repetitif, ratusan, ribuan, atau jutaan kali, insyaAllah akan mengantarkan kita mendekat ke arah tujuan tersebut. Silakan tanyakan pada Reggie Miller, berapa juta kali dia berlatih shooting sebelum menjadi three-pointer kelas wahid, andalan Indiana Pacers era 90an. Silakan wawancara David Beckham untuk tahu sudah berapa kali dia berlatih menendang untuk mendapatkan predikat pakar dalam akurasi tendangan bola mati. Atau silakan telefon ke akhirat, minta sambungkan dengan Marcus Tullius Cicero, dan tanya langsung berapa banyak dia mengulang latihan orasi, sehingga didapuk menjadi orator terciamik sepanjang sejarah manusia. Yah, begitulah buah keistiqomahan untuk melakukan repetisi.

Dari sekian banyaknya ibroh yang mengucur deras dari hidup Ibrohim, kali ini ember saya cuma mampu menampung tiga. Pertama, bahwa syariat Allah adalah solusi. Hal ini mutlak, absolut, tidak dapat diganggu dan digugat. Sejanggal apapun suatu perintah atau larangan yang telah disyariatkan oleh Allah, pasti terdapat kebaikan diujungnya, dan melakoninya adalah password kesuksesan dunia-akhirat. Tidak layak kata aneh disandingkan berdekatan dengan ketentuan Allah. Karena yang namanya janggal, aneh, ganjil, dan tidak masuk akal, adalah istilah yang hanya dikenal dalam kamus logika manusia, yang terbatas oleh daya jangkau indra seorang makhluk yang jauh di bawah kapasitas Allah. Jadi, aplikasi dari ibroh yang pertama ini adalah -seperti yang Nike bilang- Just Do It. Begitu kita mengetahui suatu perintah, lakukan. Begitu kita tahu bahwa Allah melarang, tinggalkan. Hikmah akan muncul belakangan, seperti domba yang menjadi substitusi posisi Ismail. Keluarnya belakangan kan? (Mbeeekk..)^^

Fokus pada pembinaan generasi penerus adalah ibroh yang kedua. Ini tidak perlu diperdebatkan, karena kita semua tahu bahwa Ibrohim adalah bapaknya para Nabi. Anaknya dua-duanya nabi, cucunya nabi, cicitnya nabi, sampai berujung pada Rasulullah Muhammad Saw. Bisa dibayangkan orang tua seperti apa yang mampu menghasilkan generasi penerus yang berkelas nabi, keturunan yang memiliki hati sejernih Ismail, kesabaran sekelas Ya’kub, ketampanan selevel Yusuf, dan kesempurnaan pribadi sekualitas Muhammad. Bukan kebetulan jika Ibrohim dikarunia keturunan dengan kualitas nomer satu. Karena ketika Allah menganugrahkan predikat pemimpin manusia kepadanya, Ibrohim pun memohonkan posisi dan kompetensi yang serupa untuk anak-cucunya. “Wa min dzurriyyati?” begitu kata Ibrohim.
Ingat hadits tentang tiga perkara yang tidak akan terputus aliran pahalanya? Salah satunya adalah anak yang shalih, yang senantiasa mendoakan orang tuanya. Saya tidak mampu membayangkan derasnya aliran doa dari puluhan Nabi, yang senantiasa teriring dan mengalir untuk Ibrohim AS.

Orang yang besar, adalah orang yang mampu melakukan hal-hal besar. Ini adalah ibroh ketiga, ibroh terakhir yang mampu saya tampung saat ini. Waktu seseorang, jika tidak dihabiskan untuk melakukan hal-hal besar, maka akan habis untuk hal-hal yang kecil. Sepanjang usianya, Ibrohim sudah teruji mampu mengeksekusi perkara-perkara besar, mulai dari berkonfrontasi dengan ayahnya sendiri, mencari Tuhan, mengkudeta Namrudz, steril hingga usia lanjut, diperintahkan untuk menyembelih Ismail, membangun ka’bah hanya berdua, dan seterusnya. Puncaknya, Allah menganugrahkan kedudukan sebagai Imam seluruh umat manusia kepadanya. “Dan Ingatlah ketika Ibrohim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrohim menunaikannya dengan sempurna. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia” (2:124)
Kita? Seringkali kita menghindar mengerjakan perkara-perkara berisiko hanya untuk cari selamat, agar tidak pernah ketahuan gagal. Jadi mahasiswa selalu ingin diuji oleh dosen2 baik. Jadi dokter tapi hanya berani menangani pasien batuk pilek, atau pasien2 baksos. Jadi pengusaha tapi selalu kuatir untuk membuka bisnis baru. Jadi karyawan tapi selalu nyaman dengan bidang yang sudah biasa digarap, dan tidak berani mengambil risiko ketika diserahi amanah yang lebih berat. Mau jadi orang besar dengan cara seperti ini? Jangan harap.

Saya doakan, semoga ember Anda lebih besar, untuk dapat menampung lebih banyak ibroh yang bercucuran dari hidup Nabi Ibrohim. Pertanyaan terakhir dari saya, meskipun kita mengetahui bahwa Rasulullah Muhammad adalah Nabi penutup, yang paling mulia, tapi mengapa setiap tahiyat kita selalu mendoakan agar beliau mendapat keselamatan dan berkah yang setara dengan Ibrohim? Jadi mana yang sebetulnya lebih mulia? Muhammad atau Ibrohim? “Laa nufarriqu baina ahadim mirrusulih.” Mungkin pertanyaan ini tidak perlu dijawab.
Selamat Idul Adha.
Wallahua’lam.

Sabtu, 10 Oktober 2009

Rekomendasi: Ketika Cinta Bertasbih 2


Bukan suatu kesengajaan kalau akhirnya saya nonton KCB 2. Pagi tadi saya pergi ke (mantan) kosan, demi melunasi tagihan oleh2 untuk para (mantan) tetangga. Puas berbasa-basi, saya lanjutkan perjalanan ke klinik tempat kerja saya, dengan tujuan yang sama (nyetor oleh2), sekaligus meminta surat sehat untuk kelengkapan pendaftaran uji kompetensi. Ba’da dzuhur saya pulang dari klinik. Sesampainya di depan Arion, ternyata hujan. Jadilah saya putuskan untuk berteduh sebentar, sambil mencoba thowaf di Arion. Karena belum pernah menjelajah Arion, saya niatkan untuk melihat2 ke lantai atas, sampai ke tempat bioskop. Eh, ternyata jam tayang KCB 2 di salah satu studio tinggal setengah jam lagi. Haha. Yasudah, saya beli saja tiketnya.


Sambil menunggu pintu dibuka, saya sms beberapa teman sambil baca buku yang sebelumnya sempat saya beli di Gunung Agung. Dalam kondisi pikiran yang masih terinterferensi gempa Padang, dalam hati saya berpikir,”Kalo tiba2 gempa bisa gawat nih urusannya. Bisa tewas di bioskop. Su’ul khotimah dong. Haduh, gimana ya.”

Untungnya pintu studionya keburu dibuka. Haha! untungnya? Kok untung? :p


Saya tidak menonton KCB 1. Karena kata orang filmnya cacat, gara2 ada tulisan to be continued di bagian akhir. Tapi berhubung saya sudah tahu ceritanya, bukan masalah kalau saya langsung nonton jilid dua nya.


Film ini bagus, asli bagus. Islami, betul2 islami. Taushiyahnya meluber, baik yang tersirat atau tersurat. Adegan2 yang “ehm2” ternyata bisa disiasati dan tidak ditampilkan, tanpa mengurangi nilai estetisnya. Dialog2 saru model akad nikah, tidak disuarakan. Kontak fisik antar non mahram dalam arti yang sebenarnya (bukan mahram ketika di film), sangat diminimalisir. Tapi tetap saja, seperti salah satu dialog dalam film yang disarikan dari Al Hikam, syaithon itu menggoda dengan saaangat lembut.


Buat saya, menonton film ini sangat dilematis. Penuh pemandangan surga, tapi sekaligus beraroma neraka. Hadoohhh, jujur saja, sepanjang film ini saya terserang vertigo akut (eh, emang ada?). Kepala saya pening karena bingung mata ini mau diarahkan kemana, atau telinga ini kalo mau dibikin semi permeable gimana cara. Akhirnya, saya cuma bisa beristighfar, tapi pandangan masih ke layar, haha.


Sebagai seorang lajang konvensional, meskipun dibungkus dalam kemasan film islami, tetap saja panorama perempuan berparas ala bidadari surga tidak bisa di tak acuhkan begitu saja oleh mata saya. Dan gawatnya, pemandangan seperti itu bertaburan di sepanjang film. Mulai dari si kecil Sarah, sampai dr.Asmirandah. Telinga pun begitu. Ya.. gitu deh. Saya takut mendeskripsikannya. Memang seharusnya dibuat semi permeabel, tersaring timbre suara siapa yang harus ditolak, suara siapa yang boleh masuk sampai di otak, dan suara siapa yang boleh masuk sampai di hati.


Syaithon itu betul2 halus. Ketika seseorang tidak mempan digoda dengan dosa besar, dia akan melanjutkan dengan godaan dosa kecil. Ketika dosa kecil berhasil dihindari, berlebihan dalam hal yang mubah akan dibisikkannya. Jika masih belum mempan, dia akan berkata,”Lakuin ibadah yang enteng2 aja coy. Kalo gak, yang wajib aja dah, sunnahnya kaga usah.” Dan sebagai senjata pamungkas ketika semua strategi gagal, bid’ah dan berlebihan dalam agama akan menjadi andalannya.


Yah, diluar betapa halus&rapatnya jejaring syaithon yang saya rasakan selama nonton, film ini tetap patut mendapat apresiasi. Usaha Kang Chaerul Umam, Kang Abik, dan seluruh timnya, tetap saya hadiahi seluruh jempol, dan doa semoga bisa terus berkarya.

Meskipun vertigo, saya tetap sangat menikmati menonton film ini. Selain emosi yang teraduk-aduk –yang butuh usaha ekstra untuk tidak terlalu sering cengengesan dan berkaca-kaca-, kemiripan beberapa lakon dengan keseharian saya juga menambah daya tarik film ini buat saya pribadi. Dedy Mizwar yang berlagak medok mengingatkan saya akan Fuad, si Ustadz betawi yang suka bertutur jawa. Bu’e, tentu mengingatkan saya akan Bunda saya di rumah. Dan Lia, juga membawa memori saya terbang ke Malang, ke adik saya.


Sampai saat ini, film ini adalah adaptasi novel terbaik yang pernah saya tonton. Mungkin karena saya memang jarang nonton, haha. Atau karena ternyata saya masih orang Indonesia normal, yang sangat terobsesi dengan cerita yang happy end, khusnul khotimah. Karena seperti itu pula harapan saya untuk akhir saya nanti.

Wallahua’lam.