Jumat, 31 Juli 2009

Guruku Sayang, Dokterku Malang


Paling seimbang adalah alasan utama mengapa akhirnya saya memilih untuk menjadi dokter. Saya ingat, hingga detik-detik terakhir menjelang batas waktu pengumpulan formulir pendaftaran SPMB, pilihan menjadi dokter sama sekali tidak pernah terlintas dalam benak saya. Namun entah kenapa dalam pertapaan singkat yang saya lakukan, tiba-tiba, ting! Kata dokter tiba-tiba muncul, lengkap dengan bohlam yang menyala terang di sebelah kepala seperti di film-film kartun. Saya telpon orang rumah, lalu di-acc, dan saya pilih pendidikan dokter UI sebagai pilihan pertama saya.

Ketika saya kecil, jika orang bertanya tentang cita-cita, maka saya selalu menjawab dengan keyakinan penuh: Profesor! Dulu, saya tidak tahu bahwa profesor itu guru besar, maha dosen, puncak intelektualitas tertinggi yang bisa didefinisikan manusia. Yang saya maksud profesor pada masa itu adalah scientist, ilmuwan, penemu, bukan guru besar. Saya selalu marah kalau ada yang bertanya,"Kenapa nggak jadi dokter aja?" "Nggak mauk, pokoknya mau jadi profesor!" ahahahaha. Dasar bocah sableng.

Seiring dengan makin bertambahnya usia dan dosis kedewasaan yang saya punya, bayangan masa depan untuk menjadi guru makin sering berlari-lari dalam pikiran saya. Guru itu pahalanya banyak. Diantara amal yang tidak akan terputus dan menjanjikan pahala yang terus mengalir adalah ilmu yang bermanfaat. Dan itu yang diberikan oleh seorang guru kepada muridnya. Saya sangat menikmati kegiatan mengajar, terutama jika melihat orang lain mengangguk-angguk paham atas penjelasan saya. Nah, ketika sampai di tahap orang yang saya ajari itu berkata,"Ooo.. .. gitu ya. Sip2. ngerti gue," Saya bisa sampai orgasme!

Tapi kalau dipikir2, kok ya kalau saya jadi guru, sepertinya kehidupan saya secara finansial kurang sejahtera, kurang secure. Apa ya, profesi yang di satu sisi orientasi utamanya memberi dan menyuplai sebanyak-banyaknya manfaat untuk orang lain, tapi di sisi lain menjamin kesejahteraan hidup untuk saya dan keluarga? Saya tidak kepingin jadi kaya, tapi cukup di level financially secure. Sepertinya, dokter adalah jawaban yang paling tepat. Jadi dokter itu belum tentu kaya, tapi insyaAllah tidak akan miskin, begitu kata salah satu senior saya di Fakultas Kedokteran.

Saya tidak pernah suka mengejar uang. Mungkin ini hasil didikan ayah saya yang selalu menekankan kesederhanaan dalam semua hal. Saya tidak suka jadi orang kaya, tapi saya tahu bahwa saya butuh untuk jadi orang kaya. Shodaqoh jariyah adalah pohon pahala, ladang amal yang merupakan previlege bagi orang-orang kaya. Agak sulit bagi orang yang tak punya duit untuk turut menyumbang pembangunan masjid, membangun sekolah, patungan mengaspal jalan umum, memberi tambahan modal usaha untuk industri kecil, dan berbagai peluang amal lain yang jelas-jelas membutuhkan uang.

Mohon maaf, saya tidak menemukan profesi lain di luar dokter dan guru yang visi misinya adalah memberi dan melayani. Maka dari itu, tidak heran jika masyarakat akan sangat marah ketika kesehatan dan pendidikan dikomersilkan, dibuat hitung2an ala pedagang atau pengusaha. Karena dalam kamus kebanyakan orang, dokter dan guru adalah profesi yang seharusnya tidak berpamrih, dan haram dibuat neraca laba-ruginya. Apesnya, ketika kesehatan serta pendidikan dijadikan bisnis, dokter dan guru adalah profesi yang paling menderita, karena menerima komplain paling banyak dari para customernya. Ketika biaya pendidikan mahal, pengelola institusi pendidikan dihujat. Ketika biaya kesehatan mahal, dokter dicaci maki, dicap komersil dan tidak ikhlas. Padahal, berapa sih gaji guru, dosen, dan pendapatan dokter?

Dalam mata rantai bisnis kesehatan dan pendidikan, dokter dan guru itu ada di rantai makanan terbawah, mirip tikus atau kodok. Predatornya adalah penerbit, kontraktor, dan pabrik farmasi. Ketika biaya pendidikan mahal, yang harus repot memikirkan pelanggan adalah dokter dan guru. Padahal kontributor biaya terbesar adalah masalah infrastruktur, bukan jasa, yang perannya dilakoni penerbit, kontraktor, pabrik farmasi dan teman2nya. Biaya beli obat jelas jauh lebih mahal daripada jasa dokter. Ongkos buku jauh lebih mahal daripada uang SPP. Dan uang pangkal sekolah yang biasanya untuk perbaikan gedung hampir tidak pernah tidak memberatkan siswa dan menjebol dompet orang tua.

Masyarakat kita jarang sekali menyoroti kenapa para penerbit tidak kunjung memberikan harga spesial untuk buku-buku sekolah. Pasien juga jarang mempertanyakan kenapa pabrik obat tidak punya niat untuk memproduksi obat murah secara istiqomah. Dan orang juga seringkali luput untuk menuntut para pemborong dan arsitek untuk tidak menggunakan hitung-hitungan konvensional ketika diminta membangun fasilitas pendidikan atau kesehatan. Kompensasinya, sebagai garda terdepan, dokter dan guru lah yang harus berperilaku sebagai customer service yang baik, menjelaskan, menentramkan, serta membantu mengelus dada masyarakat.

Kata salah seorang guru saya, masalahnya berpangkal di political will, perkara kemauan. Kalau will-nya sudah ada, how-nya akan mengikuti, dan way-nya akan langsung tampak jelas. Karena itu pemerintah punya peran yang sangat besar di sini.

Dalam primbon saya, penanganan masalah yang sudah kadung bersifat sistemik itu butuh solusi yang juga sistemik. Harus di bom dulu, baru masalah yang tersisa ditembaki satu per satu. Masing-masing punya peran sendiri, sesuai maqom dan derajatnya, baik yang ngebom, atau yang menembak. Pemerintah yang memang punya bom, harus berani ngebom. Dan para dokter dan guru yang punya senapan, silakan menembak. Kalau pemerintah ogah ngebom, saya mau jadi eksekutornya, jadi pelaku pemboman. Tapi sebelum sampai di tahap itu, saya masih harus banyak belajar untuk jadi penembak jitu. Banyak membaca, meminta pemeriksaan penunjang diagnostik yang sesuai keperluan, membuat resep yang rasional, dan tahu kapan harus segera merujuk.
Wallahua'lam.

Dahulukan Warung!


Hari itu saya menerima sekitar 40sekian pasien. Jika saya bekerja dalam waktu 7 jam, atau 420 menit, artinya setiap pasien rata-rata saya kerjakan selama 10 menit. Cukupkah? Menurut saya tidak. Secara saya nggak bisa lagi ngobrol dan bercanda dengan pasien seperti yang selalu saya lakukan ketika koAs, dan pemeriksaan yang saya lakukan tidak seteliti ketika masih sekolah. Tapi saat istirahat siang, senior saya berkata,"Ya....wajar kok. Saya dulu juga waktu baru awal2 masi kayak kamu, agak lama periksanya." Heh??? 10 menit ternyata udah agak lama toh? Padahal kalo lagi ujian OSCE ndak berasa tuh, cuma dapet 2 station. Hehe. (Tapi kalo lagi baksos sih, 2 menit juga cukup, wkwkwkwk)

Ternyata dokter umum di kota besar tugas utamanya memang screening, memisahkan pasien mana yang betul2 sakit patologis, dan mana yang sakit fisiologis. Karena sebagian besar pasien memang cuma sakit fisiologis, dengan penyakit2 yang swasirna, yang bakalan sembuh sendiri meskipun ga dikasi obat. Terbukti dari catatan daftar pasien di klinik tersebut, ada dokter yang bisa terima sampai 100 pasien sehari. Malahan guru saya, seorang konsultan anak, gosipnya terima pasien sampai 200an orang sehari. Dugaan saya, begitu orang tuanya bilang,"Batuk dok," sang dokter udh langsung menulis paket obat batuk pilek yang sudah biasa diresepkan.

Edukasi skala massif sepertinya adalah pekerjaan rumah yang harus segera dikerjakan oleh semua tenaga medis di Indonesia. Kebanyakan pasien-pasien Indonesia adalah pasien-pasien "bodoh", yang memiliki pengetahuan medis yang saaaaaangat minimal. Sebagian pasien banyak yang kelewat kuatir. Batuk baru sehari, langsung ke dokter. Demam baru tadi pagi, ke dokter. Tapi, di sisi lain banyak juga yang terlalu cuek. Tumor udah segede gaban, baru datang berobat. Ulkus kornea sampai udah ga bisa ngeliat, baru kalang kabut.

Bukan maksud saya membodoh-bodohkan pasien, dan bukan tujuan saya menyalahkan masyarakat awam. Tidak terdiseminasinya informasi itulah yang salah, yang sejatinya harus dikoreksi. Dan ini tugasnya yang punya informasi, siapa lagi kalau bukan dokter dan tenaga medis lain.
Dokter harus rajin ngomong, harus getol ngasi penyuluhan. Dokter juga kudu bisa nulis, syukur2 punya blog/website, atau bikin majalah. Nggak sulit sepertinya untuk membagi2kan leaflet seminggu sekali ke tetangga2 sekitar tempat praktek kita agar mereka lebih teredukasi. Mengerti kapan mereka harus ke dokter, dan kapan mereka cukup berobat sendiri, serta tindakan awal apa yang harus dilakukan. Dengan begitu mudah2an jumlah pasien dalam sehari nggak akan terlalu banyak, sehingga dokter punya cukup waktu untuk memeriksa dan mengobati dengan optimal. Pasien juga akan senang karena mendapatkan pelayanan yang holistik dan nggak perlu repot mengantri terlalu lama.

Tercatat hari itu hanya ada beberapa saja pasien saya yang memang layak berobat, yang datang bukan dengan keluhan konvensional. TB anak, dislokasi achilles dextra pasca KLL yang cuma saya kasi analgetik-wound toilet-fiksasi-lalu rujuk (hehehehe:p), dispepsia berat yang harus saya suntik antiemetik, ulkus DM yang mesti di wound toilet, tumor di daerah nasal (meningokel?ensefalokel?ap
a si tu?), varicella, skabies (ga sembuh2 meski udh diobatin poli kulit RSCM), dan BKB yang butuh inhalasi. Sisanya? Batuk-pilek-pusing-mual-demam-pegel2-mencret, yang baru 1 hari. Haduh, ibu, beli obat warung dulu aja!

Selasa, 21 Juli 2009

Mendadak Six Pack

Ada perbedaan yang sangat mencolok antara atlit dan penggemar fitness center. Sekilas, morfologi dan bentuk keduanya secara fisikal memang mirip. Ciri fisik yang dominan, selain perut bercorak bujur sangkar, yang biasanya berjumlah 2 sampai 6, seluruh otot-otot mereka seakan berlomba2 menonjolkan diri masing-masing. Nggak ada yang mau kalah, mulai dari lengan, punggung, paha, sampe ke betis, semuanya hipertrofi, semuanya kelihatan kekar. Bahkan kadang2 ada yang jarinya jadi jempol semua, karna saking seringnya dilatih.

Dengan penampakan yang sebelas-duabelas ini, perbedaan utama kedua spesies ini adalah di tujuannya, orientasinya. Buat orang yang doyan nge-gym, para fans fitness center, menggapai bentuk fisik idaman adalah tujuan, target, dan hasil akhir yang ingin dicapai. Jadi, jangan harap ketika tekad bulat sudah dicanangkan untuk mendesain badan yang sterek mirip Ade Rai, si gym-er ini bakal berhenti di tengah jalan sebelum bodynya berhasil dibentuk. Karena, sekali lagi, buat mereka hal ini adalah ultimate goal. Padahal, kalo dicari padanan kata fitness di kamus bahasa Indonesia, kita akan temukan kata bugar. Makannya arti fitness center itu pusat kebugaran. Bugar itu sehat. Sehat itu jelas bukan cuma fisik. Kata WHO, sehat itu kondisi sejahtera mulai dari fisik, mental, sampe sosial. Jadi, di fitness center atau di gym, seharusnya orang nggak cuma terfokus membenahi kebugaran fisik, tapi juga mental dan sosial. Sebuah gym yang baik, seharusnya disetting agar penggunanya punya kesempatan berinteraksi sosial dengan nyaman, dan mengembangkan kesehatan mental dengan baik. Salah satu pendekatan untuk sehat secara mental adalah pendekatan spiritual. Berarti seharusnya di gym juga disediakan Musholla, gereja, pure, vihara, atau sinagog, lengkap dengan Al-quran, Bible, weda, dan kitab suci masing2. Mudah2an dengan begitu para pecinta fitness center ini bisa lebih fit, lahir dan batin.

Nah, buat seorang atlit, bentuk fisik yang kekar, padat, pejal, dan solid ini adalah cuma efek samping, sekedar bonus belaka. Kebetulan, karena saking seringnya mereka latihan dan olahraga, tanpa disengaja otot2 yang sering digunakan itu jadi hipertrofi. Perut mereka, yang diisi cukup kalori itu, mau tidak mau harus mengalami nasib yang sama, menjadi lebih ramping dan bercorak persegi. Bukan, bukan maksud mereka untuk membentuk badan. Tapi mereka tidak berdaya dan cuma bisa pasrah menerima karunia akibat perbuatan mereka yang terlampau sering berolahraga.

Akhir2 ini, makin banyak iklan yang mengutip kalimat legendaris jendral Naga Bonar,”Apa Kata Dunia?”
Pengguna nomor urut satu dari kalimat ini kalo tidak salah adalah orang2 Dirjen Pajak, disusul orang2 KPK, departemen Kehakiman, dll. “Hare gini masi KKN? Apa kata Dunia?” “Hare gene ga bayar pajak? Apa Kata Dunia?” dan seterusnya.
Buat saya, kalimat ini agak toksik, beracun, dan sedikit bahaya. Saya nggak tau persis rentang dosis amannya berapa, dan pada dosis berapa dia bisa jadi beracun. Tapi, pokoknya toksik, titik. Secara content sebenernya gak masalah, tapi contextnya, kemasannya, membuat kita harus siaga. Peduli banget sih sama dunia?

Di antara orang2 yang saya kenal, nggak sedikit juga yang kelewat peduli dengan dunia. Fokus mereka adalah orang lain, mulai dari teman, sahabat, orang tua, dosen, pacar, istri, suami, dll. Masa depan mereka ada di orang lain, letak kebahagiaan mereka ada di orang lain, benar-salah mereka tergantung orang lain. Kalo orang lain senang, berarti dia benar. Kalo orang lain kecewa, berarti dia salah. Mereka bukan terfokus pada prinsip, atau pada value tertentu yang diyakini benar.
Misal, awalnya dia yakin bahwa kejujuran adalah value yang benar. Tapi ketika dihadapkan pada kondisi teman2 di sekitarnya nggak memegang nilai yang sama, maka kejujuran tadi lepas, lumer, dan nggak lagi digenggam. Awalnya sih, kita yakin mau ngerjain ujian sendiri. Tapi, kok, soalnya susah ya, yang lain pada nyontek, yaudah, gimana lagi, terpaksa lah ogut ikut nyontek. Awalnya sih, udah deklarasi: korupsi haram!! Tapi, kok, temen2 pada korupsi berjamaah. Ikutan ah....

Orientasi, niat, fokus, akan menentukan nilai dari suatu tindakan. Tinggal kita yang memilih, apakah orientasi kita adalah value yang kita yakini benar, atau kepuasan orang lain atas apa yang kita lakukan. Tapi yang jelas, setau saya, agak sulit untuk memuaskan semua orang tanpa ada kecuali. Tindakan apapun yang kita lakukan, akan selalu ada orang lain yang nggak puas, kecewa, merajuk, ngambek, nggak setuju, bahkan sampe bikin demonstrasi. Ketika ada dua orang yang sama2 punya motto: “saya pantang korupsi”, tapi yang satu karna memang punya prinsip yang keukeuh pada kejujuran, dan yang lain punya mentalitas “Apa Kata Dunia?”, jelas keduanya punya kualitas yang berbeda.

Jangan sampai kita cuma sibuk memoles kulit yang sebatas permukaan. Hal seperti itu terlalu semenjana, medioker, dan terlalu dangkal. Kalau misalkan suatu saat tiba2 dunia memuji kita, yah, alhamdulillah, apa boleh buat, itu efek samping dari perbuatan yang bersumber dari value yang kita yakini benar. Tapi, kalo2 di kesempatan lain dunia justru mengutuk, menyumpah-serapah, dan banyak orang yang kecewa karena tindakan kita, gak masalah, yang penting kita sudah melakukan sesuatu yang seharusnya.

Seperti halnya 6 buah kotak di perut para atlit yang terbentuk secara tidak sengaja, pujian dari dunia atas perbuatan kita sebaiknya juga terjadi dengan cara yang sama. Tiba-tiba, dan bukan disengaja.
Orisinil, bukan artifisial. Asli, bukan bajakan.
Karena, daripada pusing2 memikirkan “Apa Kata Dunia?” lebih baik kita memikirkan pertanyaan,”Apa Kata Akhirat?”. Itu juga kalo kita percaya adanya akhirat, hehehe.
Wallahua’lam.

Membesarkan Valentine

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, raya artinya besar. Secara otomatis, kata yang disandingkan dengan kata raya, entah itu diletakkan di depan atau di belakang, akan ikut menjadi besar. Jalan raya berarti jalan yang besar, hari raya itu hari yang besar, panen raya artinya panen yang besar, dan kebun raya adalah kebun yang berukuran besar. Anehnya, orang yang kaya raya tidak selalu badannya besar. Meskipun kebanyakan memang begitu.

Sementara itu, imbuhan me-kan memiliki fungsi memberi arti menjadi pada kata yang diapitnya, terutama bila kata itu adalah kata benda atau kata sifat. Memadukan berarti menjadikan padu, menjelekkan artinya menjadikan jelek, melancarkan adalah menjadikan lancar, dan tentu saja, menjadikan sendiri berarti menjadikan jadi (lho??).
Kata raya yang diberi imbuhan me-kan, akan menghasilkan bunyi merayakan. Artinya, sudah barang tentu adalah menjadikan raya, menjadikan besar.

Kata orang, hari ini hari valentine. Orang yang merayakan hari valentine, berarti menjadikan hari ini sebagai hari raya, hari yang besar, hari yang spesial, yang lain dari biasanya. Cara orang menjadikan hari valentine sebagai hari raya pasti berupa-rupa, tergantung orang itu ingin hari valentine yang sebesar apa. Mungkin cuma dengan bertanya,”Eh, lu valentinan gak?” sambil minum kopi di warteg pinggir kali. Bisa juga beli bunga atau ngeborong coklat. Atau ada juga yang bikin makan malam dengan menu cahaya lilin (candle light dinner??). Semuanya sama-sama merayakan, tergantung akan seraya apa valentine itu dalam desain pikiran masing-masing.

Menjadikan suatu hari sebagai hari raya agak sulit, karena sampai sekarang belum ada parameter yang jelas kapan suatu hari itu disebut lebih raya daripada hari biasa. Tidak seperti pembesaran limpa yang standarnya adalah titik schuffner, pembesaran hati yang patokannya arcus costae, atau lingkar kepala anak yang bandingannya adalah lingkar dada kalau anak itu sudah berumur lebih dari dua tahun.
Kalau misalkan hanya dengan memperlakukan suatu hari sedikit saja lebih spesial dari hari biasa maka kita dikatakan merayakan hari tersebut, maka perkaranya bisa runyam. Pasalnya, MUI dan ulama bisa mendapat murka Allah Swt, karena tidak melakukan apa yang mereka katakan.

Setiap tahun, sampai tahun ini, MUI dan seluruh ulama berbondong-bondong merilis anjuran, malah ada yang berupa fatwa, untuk tidak merayakan valentine. Padahal, tidak setiap hari mereka merilis fatwa model begini. Artinya, dengan melarang umat merayakan valentine secara khusus setiap mendekati tanggal 14 Februari, para ulama sebenarnya telah merayakan valentine, karena telah menjadikan valentine ini perkara besar, perkara yang spesial. Kalau para ulama ingin memberikan teladan dan mengajak orang untuk tidak merayakan valentine, cara yang termudah sejatinya adalah tidak berkata apa-apa. Cuek bebek saja, tak acuhkan saja hari itu. Atau, yang dirayakan justru hari Sabtunya. Karena dengan begitu, Sabtu akan lebih raya dari valentine, dan valentine akan lebih kecil dari Sabtu, tidak jadi raya. Toh, buat saya pribadi, Sabtu juga lebih penting dari valentine. Karena tiap Sabtu saya bisa tidur seharian, tapi tidak begitu halnya dengan tiap valentine.

Nah, permasalahannya sekarang, yang repot juga adalah saya. Karena saya juga kepingin menganjurkan orang untuk tidak merayakan valentine. Gawatnya, kalau saya nulis begitu, otomatis tiap Sabtu saya harus nulis kayak begini, biar orang tidak menyangka saya nulis begini pas hari valentine saja. Susah itu.

Dokter Spesialis Rujuk

Suatu waktu di depan tempat praktek kita sebagai dokter umum terjadi kecelakaan. Sebuah motor yang sedang melaju dengan kecepatan 60 km/jam tiba-tiba menabrak pohon, tergelincir karena jalanan sedang licin. Pengendaranya jatuh, pakaiannya robek di sana-sini, tapi beruntung helm si pengendara tidak terlepas. Apa yang kira2 akan kita lakukan?
Periksa Airway, bebas. Breathing, spontan, 20x/menit. Circullation, Nadi 90x/menit, reguler, isi cukup. Tanda vital stabil, status generalis normal dan tidak ada kelainan, selain terlihat vulnus laceratum di lengan bawah kanan dan beberapa ekskoriasi.

Di ruangan praktek kita, Kassa ada, Betadine punya, H2O2 masih sisa banyak, NaCl masih 5 kolf, jarum tersedia, benang lebih dari cukup, ATS&TT malah masih utuh ampul dan vialnya. Apakah kita suntik ATS&TT? Apa kita lakukan Wound Toilet? Apa kita jahit laserasinya? Ternyata tidak.
Dari sekian banyak amunisi yang kita punya, yang kita lakukan hanya mengambil surat rujukan, dan menyarankan pasien untuk ke rumah sakit terdekat. Kalo beruntung, si pasien nanti akan ditangani dokter jaga IGD yang terampil. Kalo apes, dia ketemu koAss, hehehe.

Ilustrasi tadi adalah potret dokter umum yang kita punya saat ini di Negara ini. Nyaris 64 tahun setelah merdeka, bukannya membaik, kualitas dokter umum kita justru involutif, bergerak mundur ke arah belakang. Pengetahuannya minimal, ketrampilannya terbatas, nyalinya pun tinggal secuil. Dokter umum kita hanya terbiasa mengobati batuk pilek, atau paling banter typhoid. Sisanya? Rujuk!

Wajar jika masyarakat kita sekarang memandang dokter umum sebagai dokter spesialis rujuk. Kalo bukan batuk pilek, jangan ke dokter umum. Buang2 duit aja, karna ujung2nya cuma bakal dapet surat rujukan untuk ke spesialis. Ironis kalau kita menjumpai kenyataan bahwa tidak sedikit pasien yang dirujuk oleh dokter umum, sesampainya di rumah sakit malah ditangani koAss.

Realitas ini jadi bukti bahwa dokter umum kita sekarang sedang merendahkan dirinya sendiri, sambil pura2 amnesia bahwa dia dulu pernah belajar seluruh kompetensi yang diperlukan untuk menjadi dokter yang baik pada pelayanan kesehatan strata primer. Lebih parah lagi, dengan attitudenya yang seperti itu, dokter umum jaman sekarang punya hobi menggerutu bahwa kesejahteraan dokter sekarang tidak ada yang memperhatikan. Pasiennya juga semakin sedikit. Implikasinya, status dokter umum sekarang ini cuma jadi batu loncatan, untuk nantinya melanjutkan spesialisasi, dengan tujuan utama kondisi ekonomi dan finansial yang lebih baik, yang lebih menjamin kesejahteraan diri dan kedudukannya di masyarakat.

Jadi, jangan salahkan masyarakat kalau mereka langsung ke dokter spesialis ketika anaknya demam, batuk pilek, sakit kepala, atau sering pegel2. Karena ketika ke dokter umum, mereka cuma pulang dengan membawa surat rujukan. Juga jangan salahkan temen ngobrol Anda yang baru Anda kenal di mikrolet, ketika mereka bertanya,”Oohh.. udah mau lulus ya? abis ini mau ngambil spesialis apa?”. Karena dalam kamus mereka, dokter umum hanya bisa mengedukasi, bukan memberi terapi.
Wallahua’lam.