Minggu, 10 Januari 2010

Pelacur Kehidupan


Idealisme adalah salah satu kata paling mewah yang ada dalam kamus kehidupan. Tidak semua orang mampu memilikinya, dan diantara yang memilikinya pun, belum tentu semuanya menempatkannya pada posisi yang benar. Tidak sedikit orang yang memiliki idealisme yang kemudian mendudukkannya hanya sampai pada level pengetahuan, belum pada taraf sikap, apalagi mencapai tingkatan perilaku. Sedang orang-orang yang tidak memilikinya, sibuk berlindung dibalik alasan bahwa merasa tidak pantas, atau justru tidak butuh. Mungkin tadinya punya, tapi lantas dibuang.

Kita membutuhkan idealisme untuk mengisi kehidupan. Pada setiap profesi, apapun itu, pasti ada idealisme yang diperjuangkan dan menjadi latar belakang kemunculan profesi tersebut. Dalam kurikulum pendidikan doktoral –tingkatan keilmuan tertinggi yang mampu didefinisikan manusia modern- selalu disertakan mata kuliah filsafat ilmu. Semua calon doktor diwajibkan untuk mengakrabi pernik idealisme dalam bidang keilmuan masing-masing; mulai dari asal-usulnya, bagaimana ilmu tersebut diperoleh, bagaimana ilmu dikembangkan, dan seterusnya. Hal inilah yang kemudian menjadi pembeda absolut antara para doktor dengan sekedar sarjana. Seorang doktor dituntut untuk menjadi kaum terpelajar sejati, ilmuwan tulen yang mampu mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan dan mengisi kehidupan. Tidak seperti para sarjana yang seringkali hanya merupakan ilmuwan tanggung, yang –kebanyakan- hanya didesain untuk menjadi kumpulan tukang, ahli teknis di bidang masing-masing demi menyambung kehidupan, karena tidak semua dikenalkan dengan idealisme profesinya.

Dalam menjalankan profesi apapun, ketika kehilangan idealisme, maka yang kita lakukan hanyalah menyambung hidup, bukan mengisi kehidupan. Kita hanya mencari penghidupan dari keahlian yang kebetulan kita kuasai, dan orang lain tidak. Kasarnya, kita mencari duit dari kelemahan orang lain. Dimana ada kelemahan, ada kebutuhan untuk dibantu, disitulah tambang uang. Jika sudah begitu, maka hanya tipis bedanya antara guru, penulis, pelukis, dokter, pengacara, atau ustadz, dengan para pelacur. Masing-masing menjual asset yang dimilikinya untuk, -sekali lagi- sekedar menyambung hidup. Para guru dan dosen menjual ilmunya, para penulis menjual keahliannya merangkai kata, para pelukis menjual keterampilannya mengkombinasikan warna, para dokter menjual kepandaiannya dalam bidang pengobatan, para pengacara menjual ilmu hukumnya, para ustadz menjual pengetahuan agamanya, dan para pelacur menjual kelaminnya. Semuanya untuk uang, demi dapat menyambung kehidupan masing-masing.

Sebagaimana kita tahu, pusat peredaran uang adalah di pasar. Maka, jika ingin terlibat dalam lingkaran peredaran uang, kita terpaksa harus takluk pada kemauan pasar. Apapun profesi kita, selera pasar harus menjadi prioritas. Jika kita guru, kita hanya akan meneruskan kebiasaan, mengajarkan ilmu yang melestarikan kekuasaan para penguasa, alih-alih memberikan pendidikan yang membebaskan&mencerdaskan. Jika kita dokter, maka kita akan senang jika pasien datang berobat dalam jumlah berjubel, diresepkan obat, tanpa disertai pemberian pengetahuan bagaimana seharusnya mereka menjaga kesehatan secara mandiri. Atau jika kita ustadz, kita akan dengan senang hati jika diminta memberikan nasihat yang berisi ajakan untuk selalu berbuat baik, tapi enggan ketika diminta melarang ini dan itu. Karena larangan, nahi munkar, bukanlah bagian dari selera pasar.

Bagi orang-orang yang memiliki idealisme dalam kerangka yang benar, pasar akan ditempatkan pada posisi yang selayaknya, tidak terlalu tinggi dan tidak kelewat rendah. Bukan melulu diposisikan sebagai seorang tuan yang harus diikuti kemauannya, dan bukan pula sebagai pihak yang harus dipaksakan menuruti selera pribadi kita, yang juga belum tentu benar arahnya. Terus-menerus merelakan diri mengikuti kemauan pasar adalah serupa dengan melacur. Sedangkan ngotot memaksakan idealisme pribadi tanpa kompromi adalah seperti kastrasi.

Jangan terlalu murah dalam mematok harga idealisme, prinsip, ataupun nilai yang kita yakini benar. JIka kita tidak ingin dianggap sebagai para pelacur kehidupan, silakan perjuangkan idealisme kita masing-masing. Jangan sekedar menjual asset atau bercita-cita menjadi sesuatu hanya demi beberapa lembar rupiah. Jadilah guru yang mencerdaskan, musisi yang tidak selalu ikut arus, penulis yang tidak selalu mengekor kemauan para pemodal media, produser film yang tidak melulu ikut-ikutan tren, dokter yang tidak hanya memperjuangkan kesembuhan tapi juga kesehatan, atau ustadz yang tidak hanya berani ber-amar ma’ruf tapi juga ber-nahi munkar. Janganlah sekedar berupaya untuk menyambung hidup, tapi berusahalah juga untuk mengisi kehidupan.
Wallahua’lam.

Sabtu, 02 Januari 2010

Meneladani Iman Para Sastrawan


Anda semua pastinya sudah mengetahui apa itu mu’jizat. Mu’jizat adalah suatu keluarbiasaan, baik itu berupa ucapan, perbuatan, peristiwa, atau benda yang dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran seorang Rasul. Saya juga yakin jika Anda diminta untuk menyebutkan Mu’jizat salah satu Rasul saja, maka Anda justru akan ngelunjak, pamer bahwa Anda bisa menyebutkan tiga, empat, lima, atau lebih banyak lagi.


Sebut saja bagaimana kapal terbesar sepanjang zaman pernah didesain oleh Nabi Nuh, dan bagaimana cas-cis-cusnya Nabi Sulaiman berdialog dengan bangsa Jin dan binatang. Atau peristiwa kegagalan satu-satunya bagi api untuk menuntaskan tugasnya, yaitu ketika dia didelegasikan untuk menghanguskan tubuh Ibrahim. Atau betapa Nabi Musa telah mempesona para tukang sihir Fir’aun dengan tongkat ularnya, Nabi Isa yang sukses menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang buta, serta bagaimana Al Quran telah membuat seluruh sastrawan arab di era Muhammad berdecak kagum.


Allah telah mendesain semua mu’jizat sebagai alat bantu bagi setiap Rasul agar dipercayai kerasulannya serta diyakini ajarannya. Allah juga telah mendiversifikasi mu’jizat masing-masing rasul sesuai dengan kondisi kepada siapa dan dimana dia diutus. Allah telah menetapkan bahwa mu’jizat dari setiap rasul akan membuat kaum yang bersangkutan bertekuk lutut, karena mu’jizat tadi akan menjadikan kemampuan mereka yang tadinya mereka anggap hebat, menyusut dengan segera.


Kita ambil contoh Nabi Musa. Pada rezim Fir’aun, sihir adalah gaya hidup, dan menjadi salah satu penentu martabat seseorang. Seorang magician alumnus the Master yang cuma bisa main kartu, mungkin cuma akan jadi petani gabah di jaman Fir’aun karena saking ceteknya ilmu sulap yang dia kuasai. Sebab, pada kurun itu ilmu sihir mencapai level tertinggi yang bisa dicapai manusia, dan para penyihir sedang berada pada era keemasannya. Nah, pada kaum inilah Musa diutus, lengkap dengan mu’jizat tongkat ularnya, yang kita tahu kemudian berhasil mengkandaskan ular-ular mungil hasil kreasi para penyihir kerajaan Fir’aun. Dan siapakah yang pertama beriman kepada agama Musa? Para penyihir tadi. Mereka bersujud seketika itu juga. Karena mereka mengetahui bahwa sihir ala Musa bukan sihir yang konvensional.


Contoh kedua, Nabi Isa. Isa lahir pada jaman ketika ilmu kedokteran arab sedang maju-majunya, dan masyarakat kala itu sangat menghargai keberadaan para tabib (dokter). Masyarakat arab-palestina pada waktu itu dipenuhi dengan tabib-tabib kelas wahid jika dibandingkan dengan masyarakat lain di seluruh dunia. Ketika itu, seorang tabib memiliki kedudukan yang tinggi di mata masyarakat karena keilmuannya dan kemampuannya menyembuhkan orang sakit. Ketika Isa datang dengan kelihaiannya menyembuhkan kebutaan, bahkan menghidupkan orang mati, maka hebohlah seluruh Palestina. Dan Anda pasti juga sudah bisa menebak siapa yang paling pertama menyatakan keimanan pada Isa. Yak, betul. Para tabib tadi. Sama seperti para penyihir kerajaan Fir’aun, para tabib itu mengetahui betul bahwa skill medis Nabi Isa sudah melampaui limit kemampuan yang bisa dijangkau manusia.


Nah, sekarang kita lihat Muhammad, dengan mu’jizat terbesarnya –Al Quran-. Masyarakat arab pada masa diutusnya Muhammad adalah komunitas para pujangga yang memiliki stok sastrawan berkelas dengan jumlah bejibun. Siapa yang menguasai sastra, hafal berbagai syair, maka dialah yang paling mulia. Dan untuk masyarakat seperti inilah Al Quran diturunkan, untuk masyarakat yang menomorsatukan sastra, budaya baca dan ilmu. Kejadiannya pun sama persis seperti Musa dan Isa, dimana yang pertama kali menyatakan beriman kepada Muhammad adalah orang-orang yang mengerti sastra, dan orang-orang yang memiliki ilmu, seperti para pendeta. Karena merekalah yang paling memahami bahwa Al Quran dan isinya bukanlah sesuatu yang sembarangan.
Hingga saat inipun, di masa kita, budaya literasi, penguasaan ilmu dan informasi merupakan salah satu parameter paling penting yang menentukan posisi seseorang. Siapa yang menguasai ilmu, memiliki akses informasi, maka dialah yang memiliki peluang terbesar untuk maju. Maka dari itulah AlQuran masih tetap relevan sampai sekarang, dan seterusnya.


Jika kita merasa keislaman kita masih pada taraf abangan, setengah hati, masih trial, atau belum full version, mungkin kita perlu mengevaluasi minat kita terhadap sastra dan kecintaan kita pada ilmu dan budaya baca. Sebab, jangan-jangan karena minat kita yang kurang terhadap sastra dan penguasaan keilmuan kita yang minimal, maka kita tidak mengetahui betapa istimewanya Al Quran.


Bagi saya pribadi, contoh konkretnya tidak perlu jauh-jauh. Saat di bangku kuliah, orang yang kami panggil ustadz di angkatan kami adalah seorang sastrawan, seorang pujangga. Orang yang memiliki kepribadian paling terjaga, kafa’ah keislaman yang paling mumpuni, dan bacaan Quran yang paling tartil, adalah orang yang sejak kecil tergila-gila dengan sastra dan dunia kata-kata.
Di luar sana pun, tidak jarang kita temukan orang-orang yang akhirnya masuk islam dan mengakui keluarbiasaan Al Quran dengan seyakin-yakinnya adalah para Profesor dan Ilmuwan kawakan. Karena mereka mengetahui bahwa Al Quran sangat sejalan dengan pengetahuan, bahkan telah melampaui perkembangan ilmu hingga beberapa abad ke depan.


Nah, apakah saat ini Anda masih belum terkesima dengan Al Quran dan belum bisa menerima islam sepenuh hati? Jika iya, bisa jadi hal ini karena Anda kurang intim dengan sastra, kurang menginternalisasi budaya baca, atau bukan penggemar ilmu pengetahuan.
Wallahua’lam.