Sabtu, 24 Januari 2009

Rekomendasi: Perempuan Berkalung Sorban

Hak-hak wanita dalam islam, mungkin itu isu sentral yang diperdebatkan dalam film yang baru2 ini saya tonton, Perempuan Berkalung Sorban. Diawali dari ketidaknyaman dan pemberontakan Annisa kecil terhadap ketidaksetaraan hak wanita dan laki-laki dalam islam yang dia rasakan, berbagai konflik dalam film ini mulai bergulir. Mulai dari apakah wanita boleh naik kuda, menjadi pemimpin, meraih pendidikan hingga level tertinggi, membuka wawasan terhadap dunia lain di luar dapur dan kasur, dst. Awalnya, secara sepintas kebebasan dan kesetaraan penuh antara laki-laki dan perempuan menjadi solusi yang ditonjolkan oleh sang sutradara. Namun, setelah tokoh Annisa bertemu dengan sahabat masa kecilnya, Aisyah, barulah kita disadarkan, bahwa pilihan apapun selalu mengandung risiko. Dan pilihan untuk meraih kebebasan yang tak terbatas dan persamaan gender yang asal pukul rata, bukan merupakan tujuan yang tanpa cela atau keputusan yang bijak.


Semua permasalahan dalam film ini diceritakan dengan menarik, meskipun tidak semua terselesaikan, dan berujung pada satu konklusi tentang bagaimana sebenarnya islam memandang gender dan bagaimana sebenarnya islam sangat memuliakan kedudukan wanita.


Hal lain yang justru sangat menarik buat saya di film ini adalah keteladanan seorang suami yang ditunjukkan oleh Khudori. Mulai dari dia yang selalu mendukung kegiatan istrinya, memahami tribulasi psikodinamika yang mempengaruhi mindset sang istri, tetap tenang ketika istrinya marah, bergaul dengan ma'ruf, mendengar setiap keluh kesah, membuatkan teh, hingga menggoreng tempe untuk makan bersama.

Tokoh Khudori di film ini adalah edukasi yang luar biasa -menurut saya- untuk masyarakat kita yang belakangan kaum laki-lakinya semakin banyak yang tidak menjadi laki-laki. Yang dengan pengecut menggunakan kekuatan fisik untuk menutupi kelemahan kemampuannya dalam memberi nafkah, ketidakmumpunian intelektual dalam mendidik istri, kegagalan untuk berlaku adil, dan sejuta kelemahan2 lain. Laki-laki yang model begini, jangankan untuk disebut laki-laki, untuk dikatakan bahwa dia manusia pun sebenarnya masih debatable.

Saya pikir, film ini cukup layak untuk ditonton. Kalau AAC membuat lebih dari 3,5 juta tiket ludes terbeli oleh ibu2 pengajian, menurut saya film ini cukup layak untuk mendapatkan atensi dan jumlah penonton yang lebih banyak. Lagian akting mas Hanung sebagai tukang pos di film ini juga cukup memukau, haha.

2 komentar:

  1. assalamualaikum

    wah kak, baru tau link blognya nih, aku link yah dari blogku. sayang bgt aku gak nonton film ini, kayaknya mesti sabar nunggu dvd/vcd nya keluar aja deh. makasih rekomendasinya
    keep writing!

    BalasHapus
  2. infiltrasi pemikiran justru sangat terasa di film ini. untuk orang-orang awam yang belum bisa menyaring, film ini malah jadi ajang propaganda feminisme yang luarbiasa. disamping ada beberapa penerapan syariah yang kurang pas. -just comment-

    BalasHapus