Rabu, 14 Mei 2008

Parameter Kelas Dunia

Hari Kamis tanggal 8 Mei kemarin saya diundang salah satu dosen ke acara bedah buku Saatnya Dunia Berubah. Untuk bisa masuk harusnya bayar 25 ribu, tapi fortunately saya dibayarin. Pembicaranya waktu itu adalah si penulis sendiri, Ibu Menkes yang terhormat, Bu Siti Fadhilah Supari. Acaranya bagus! Asli bagus.

Yah, saya memang baru pertama kali ketemu langsung sama Bu Menkes. Mirip banget sama waktu di tivi lho (ya iyalah..).
Seperti yang sudah sering saya liat di tivi, kalo kita assess soal gaya bicaranya, menurut saya memang agak kurang ciamik. Mungkin karena logatnya yang masih medok, teknik napasnya yang kadang agak keputus-putus, atau karna faktor lain.

Tapi itu bukan masalah. Perkaranya, yang disampaikan sama bu Menteri bener2 menginspirasi. Jadi, masalah kemasan tadi urusan belakangan. Banyak hal yang beliau sampaikan, mulai dari fakta konspirasi di balik flu burung, namru, notulensi rapat WHO yang sering diakalin sama orang US, sampai ke masalah pendidikan tinggi di Negara kita. Khusus untuk yang saya sebut terakhir, pernyataan bu Menkes yang beliau sampaikan waktu itu cukup memberikan insight baru buat saya.

Statementnya sebenarnya cukup sederhana. Beliau cuma bilang kalo pengelola pendidikan tinggi di negara kita sekarang ini udah terjebak untuk sekedar meningkatkan image dan menetapkan parameter2 yang menyesatkan untuk mengukur kesuksesan penyelenggaraan pendidikannya. Salah satu parameter yang paling nyeleneh adalah kalo kampus kita mau dibilang world class university, harus ada alokasi minimal 20% untuk mahasiswa asing.

Kelihatannya keren memang, kalo misalnya ada orang luar, entah Malaysia, India, Brunei, Singapore, atau Bule yang belajar di kampus kita. Kesan yang keliatan adalah universitas kita memang excellent, berkelas, sampai-sampai orang luar mau jauh2 belajar ke kampus kita.

Tapi, kalo dipikir-pikir lagi, dengan menyediakan 20% bangku untuk mahasiswa asing, otomatis akan ada 20% calon mahasiswa yang batal kuliah! Kita sudah membuang 20% asset bangsa setiap tahun yang sebenarnya berpotensi, justru untuk mendidik bangsa lain! Memalukan sekali. Agak mending kalo seleksinya disamakan. Jadi, antara mahasiswa indo yang masuk lewat SPMB sama mahasiswa asing yang masuk punya kualitas yang sama, karena lulus seleksi yang satu level. Kalo enggak, males banget! Cuma karena mereka pemerintahnya lebih care, mahasiswanya pada dikasi beasiswa, kita jadi nerima begitu aja karna sekalian ningkatin gengsi universitas.

Jadi, bapak2 rektor, pilih paket A yang isinya duit+gengsi, atau paket B yang isinya harga diri+masa depan bangsa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar