Selasa, 21 Juli 2009

Dokter Spesialis Rujuk

Suatu waktu di depan tempat praktek kita sebagai dokter umum terjadi kecelakaan. Sebuah motor yang sedang melaju dengan kecepatan 60 km/jam tiba-tiba menabrak pohon, tergelincir karena jalanan sedang licin. Pengendaranya jatuh, pakaiannya robek di sana-sini, tapi beruntung helm si pengendara tidak terlepas. Apa yang kira2 akan kita lakukan?
Periksa Airway, bebas. Breathing, spontan, 20x/menit. Circullation, Nadi 90x/menit, reguler, isi cukup. Tanda vital stabil, status generalis normal dan tidak ada kelainan, selain terlihat vulnus laceratum di lengan bawah kanan dan beberapa ekskoriasi.

Di ruangan praktek kita, Kassa ada, Betadine punya, H2O2 masih sisa banyak, NaCl masih 5 kolf, jarum tersedia, benang lebih dari cukup, ATS&TT malah masih utuh ampul dan vialnya. Apakah kita suntik ATS&TT? Apa kita lakukan Wound Toilet? Apa kita jahit laserasinya? Ternyata tidak.
Dari sekian banyak amunisi yang kita punya, yang kita lakukan hanya mengambil surat rujukan, dan menyarankan pasien untuk ke rumah sakit terdekat. Kalo beruntung, si pasien nanti akan ditangani dokter jaga IGD yang terampil. Kalo apes, dia ketemu koAss, hehehe.

Ilustrasi tadi adalah potret dokter umum yang kita punya saat ini di Negara ini. Nyaris 64 tahun setelah merdeka, bukannya membaik, kualitas dokter umum kita justru involutif, bergerak mundur ke arah belakang. Pengetahuannya minimal, ketrampilannya terbatas, nyalinya pun tinggal secuil. Dokter umum kita hanya terbiasa mengobati batuk pilek, atau paling banter typhoid. Sisanya? Rujuk!

Wajar jika masyarakat kita sekarang memandang dokter umum sebagai dokter spesialis rujuk. Kalo bukan batuk pilek, jangan ke dokter umum. Buang2 duit aja, karna ujung2nya cuma bakal dapet surat rujukan untuk ke spesialis. Ironis kalau kita menjumpai kenyataan bahwa tidak sedikit pasien yang dirujuk oleh dokter umum, sesampainya di rumah sakit malah ditangani koAss.

Realitas ini jadi bukti bahwa dokter umum kita sekarang sedang merendahkan dirinya sendiri, sambil pura2 amnesia bahwa dia dulu pernah belajar seluruh kompetensi yang diperlukan untuk menjadi dokter yang baik pada pelayanan kesehatan strata primer. Lebih parah lagi, dengan attitudenya yang seperti itu, dokter umum jaman sekarang punya hobi menggerutu bahwa kesejahteraan dokter sekarang tidak ada yang memperhatikan. Pasiennya juga semakin sedikit. Implikasinya, status dokter umum sekarang ini cuma jadi batu loncatan, untuk nantinya melanjutkan spesialisasi, dengan tujuan utama kondisi ekonomi dan finansial yang lebih baik, yang lebih menjamin kesejahteraan diri dan kedudukannya di masyarakat.

Jadi, jangan salahkan masyarakat kalau mereka langsung ke dokter spesialis ketika anaknya demam, batuk pilek, sakit kepala, atau sering pegel2. Karena ketika ke dokter umum, mereka cuma pulang dengan membawa surat rujukan. Juga jangan salahkan temen ngobrol Anda yang baru Anda kenal di mikrolet, ketika mereka bertanya,”Oohh.. udah mau lulus ya? abis ini mau ngambil spesialis apa?”. Karena dalam kamus mereka, dokter umum hanya bisa mengedukasi, bukan memberi terapi.
Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar