Selasa, 21 Juli 2009

Mendadak Six Pack

Ada perbedaan yang sangat mencolok antara atlit dan penggemar fitness center. Sekilas, morfologi dan bentuk keduanya secara fisikal memang mirip. Ciri fisik yang dominan, selain perut bercorak bujur sangkar, yang biasanya berjumlah 2 sampai 6, seluruh otot-otot mereka seakan berlomba2 menonjolkan diri masing-masing. Nggak ada yang mau kalah, mulai dari lengan, punggung, paha, sampe ke betis, semuanya hipertrofi, semuanya kelihatan kekar. Bahkan kadang2 ada yang jarinya jadi jempol semua, karna saking seringnya dilatih.

Dengan penampakan yang sebelas-duabelas ini, perbedaan utama kedua spesies ini adalah di tujuannya, orientasinya. Buat orang yang doyan nge-gym, para fans fitness center, menggapai bentuk fisik idaman adalah tujuan, target, dan hasil akhir yang ingin dicapai. Jadi, jangan harap ketika tekad bulat sudah dicanangkan untuk mendesain badan yang sterek mirip Ade Rai, si gym-er ini bakal berhenti di tengah jalan sebelum bodynya berhasil dibentuk. Karena, sekali lagi, buat mereka hal ini adalah ultimate goal. Padahal, kalo dicari padanan kata fitness di kamus bahasa Indonesia, kita akan temukan kata bugar. Makannya arti fitness center itu pusat kebugaran. Bugar itu sehat. Sehat itu jelas bukan cuma fisik. Kata WHO, sehat itu kondisi sejahtera mulai dari fisik, mental, sampe sosial. Jadi, di fitness center atau di gym, seharusnya orang nggak cuma terfokus membenahi kebugaran fisik, tapi juga mental dan sosial. Sebuah gym yang baik, seharusnya disetting agar penggunanya punya kesempatan berinteraksi sosial dengan nyaman, dan mengembangkan kesehatan mental dengan baik. Salah satu pendekatan untuk sehat secara mental adalah pendekatan spiritual. Berarti seharusnya di gym juga disediakan Musholla, gereja, pure, vihara, atau sinagog, lengkap dengan Al-quran, Bible, weda, dan kitab suci masing2. Mudah2an dengan begitu para pecinta fitness center ini bisa lebih fit, lahir dan batin.

Nah, buat seorang atlit, bentuk fisik yang kekar, padat, pejal, dan solid ini adalah cuma efek samping, sekedar bonus belaka. Kebetulan, karena saking seringnya mereka latihan dan olahraga, tanpa disengaja otot2 yang sering digunakan itu jadi hipertrofi. Perut mereka, yang diisi cukup kalori itu, mau tidak mau harus mengalami nasib yang sama, menjadi lebih ramping dan bercorak persegi. Bukan, bukan maksud mereka untuk membentuk badan. Tapi mereka tidak berdaya dan cuma bisa pasrah menerima karunia akibat perbuatan mereka yang terlampau sering berolahraga.

Akhir2 ini, makin banyak iklan yang mengutip kalimat legendaris jendral Naga Bonar,”Apa Kata Dunia?”
Pengguna nomor urut satu dari kalimat ini kalo tidak salah adalah orang2 Dirjen Pajak, disusul orang2 KPK, departemen Kehakiman, dll. “Hare gini masi KKN? Apa kata Dunia?” “Hare gene ga bayar pajak? Apa Kata Dunia?” dan seterusnya.
Buat saya, kalimat ini agak toksik, beracun, dan sedikit bahaya. Saya nggak tau persis rentang dosis amannya berapa, dan pada dosis berapa dia bisa jadi beracun. Tapi, pokoknya toksik, titik. Secara content sebenernya gak masalah, tapi contextnya, kemasannya, membuat kita harus siaga. Peduli banget sih sama dunia?

Di antara orang2 yang saya kenal, nggak sedikit juga yang kelewat peduli dengan dunia. Fokus mereka adalah orang lain, mulai dari teman, sahabat, orang tua, dosen, pacar, istri, suami, dll. Masa depan mereka ada di orang lain, letak kebahagiaan mereka ada di orang lain, benar-salah mereka tergantung orang lain. Kalo orang lain senang, berarti dia benar. Kalo orang lain kecewa, berarti dia salah. Mereka bukan terfokus pada prinsip, atau pada value tertentu yang diyakini benar.
Misal, awalnya dia yakin bahwa kejujuran adalah value yang benar. Tapi ketika dihadapkan pada kondisi teman2 di sekitarnya nggak memegang nilai yang sama, maka kejujuran tadi lepas, lumer, dan nggak lagi digenggam. Awalnya sih, kita yakin mau ngerjain ujian sendiri. Tapi, kok, soalnya susah ya, yang lain pada nyontek, yaudah, gimana lagi, terpaksa lah ogut ikut nyontek. Awalnya sih, udah deklarasi: korupsi haram!! Tapi, kok, temen2 pada korupsi berjamaah. Ikutan ah....

Orientasi, niat, fokus, akan menentukan nilai dari suatu tindakan. Tinggal kita yang memilih, apakah orientasi kita adalah value yang kita yakini benar, atau kepuasan orang lain atas apa yang kita lakukan. Tapi yang jelas, setau saya, agak sulit untuk memuaskan semua orang tanpa ada kecuali. Tindakan apapun yang kita lakukan, akan selalu ada orang lain yang nggak puas, kecewa, merajuk, ngambek, nggak setuju, bahkan sampe bikin demonstrasi. Ketika ada dua orang yang sama2 punya motto: “saya pantang korupsi”, tapi yang satu karna memang punya prinsip yang keukeuh pada kejujuran, dan yang lain punya mentalitas “Apa Kata Dunia?”, jelas keduanya punya kualitas yang berbeda.

Jangan sampai kita cuma sibuk memoles kulit yang sebatas permukaan. Hal seperti itu terlalu semenjana, medioker, dan terlalu dangkal. Kalau misalkan suatu saat tiba2 dunia memuji kita, yah, alhamdulillah, apa boleh buat, itu efek samping dari perbuatan yang bersumber dari value yang kita yakini benar. Tapi, kalo2 di kesempatan lain dunia justru mengutuk, menyumpah-serapah, dan banyak orang yang kecewa karena tindakan kita, gak masalah, yang penting kita sudah melakukan sesuatu yang seharusnya.

Seperti halnya 6 buah kotak di perut para atlit yang terbentuk secara tidak sengaja, pujian dari dunia atas perbuatan kita sebaiknya juga terjadi dengan cara yang sama. Tiba-tiba, dan bukan disengaja.
Orisinil, bukan artifisial. Asli, bukan bajakan.
Karena, daripada pusing2 memikirkan “Apa Kata Dunia?” lebih baik kita memikirkan pertanyaan,”Apa Kata Akhirat?”. Itu juga kalo kita percaya adanya akhirat, hehehe.
Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar