Hari itu saya menerima sekitar 40sekian pasien. Jika saya bekerja dalam waktu 7 jam, atau 420 menit, artinya setiap pasien rata-rata saya kerjakan selama 10 menit. Cukupkah? Menurut saya tidak. Secara saya nggak bisa lagi ngobrol dan bercanda dengan pasien seperti yang selalu saya lakukan ketika koAs, dan pemeriksaan yang saya lakukan tidak seteliti ketika masih sekolah. Tapi saat istirahat siang, senior saya berkata,"Ya....wajar kok. Saya dulu juga waktu baru awal2 masi kayak kamu, agak lama periksanya." Heh??? 10 menit ternyata udah agak lama toh? Padahal kalo lagi ujian OSCE ndak berasa tuh, cuma dapet 2 station. Hehe. (Tapi kalo lagi baksos sih, 2 menit juga cukup, wkwkwkwk)
Ternyata dokter umum di kota besar tugas utamanya memang screening, memisahkan pasien mana yang betul2 sakit patologis, dan mana yang sakit fisiologis. Karena sebagian besar pasien memang cuma sakit fisiologis, dengan penyakit2 yang swasirna, yang bakalan sembuh sendiri meskipun ga dikasi obat. Terbukti dari catatan daftar pasien di klinik tersebut, ada dokter yang bisa terima sampai 100 pasien sehari. Malahan guru saya, seorang konsultan anak, gosipnya terima pasien sampai 200an orang sehari. Dugaan saya, begitu orang tuanya bilang,"Batuk dok," sang dokter udh langsung menulis paket obat batuk pilek yang sudah biasa diresepkan.
Edukasi skala massif sepertinya adalah pekerjaan rumah yang harus segera dikerjakan oleh semua tenaga medis di Indonesia. Kebanyakan pasien-pasien Indonesia adalah pasien-pasien "bodoh", yang memiliki pengetahuan medis yang saaaaaangat minimal. Sebagian pasien banyak yang kelewat kuatir. Batuk baru sehari, langsung ke dokter. Demam baru tadi pagi, ke dokter. Tapi, di sisi lain banyak juga yang terlalu cuek. Tumor udah segede gaban, baru datang berobat. Ulkus kornea sampai udah ga bisa ngeliat, baru kalang kabut.
Bukan maksud saya membodoh-bodohkan pasien, dan bukan tujuan saya menyalahkan masyarakat awam. Tidak terdiseminasinya informasi itulah yang salah, yang sejatinya harus dikoreksi. Dan ini tugasnya yang punya informasi, siapa lagi kalau bukan dokter dan tenaga medis lain.
Dokter harus rajin ngomong, harus getol ngasi penyuluhan. Dokter juga kudu bisa nulis, syukur2 punya blog/website, atau bikin majalah. Nggak sulit sepertinya untuk membagi2kan leaflet seminggu sekali ke tetangga2 sekitar tempat praktek kita agar mereka lebih teredukasi. Mengerti kapan mereka harus ke dokter, dan kapan mereka cukup berobat sendiri, serta tindakan awal apa yang harus dilakukan. Dengan begitu mudah2an jumlah pasien dalam sehari nggak akan terlalu banyak, sehingga dokter punya cukup waktu untuk memeriksa dan mengobati dengan optimal. Pasien juga akan senang karena mendapatkan pelayanan yang holistik dan nggak perlu repot mengantri terlalu lama.
Tercatat hari itu hanya ada beberapa saja pasien saya yang memang layak berobat, yang datang bukan dengan keluhan konvensional. TB anak, dislokasi achilles dextra pasca KLL yang cuma saya kasi analgetik-wound toilet-fiksasi-lalu rujuk (hehehehe:p), dispepsia berat yang harus saya suntik antiemetik, ulkus DM yang mesti di wound toilet, tumor di daerah nasal (meningokel?ensefalokel?ap
"Haduh, ibu, beli obat warung dulu aja!"
BalasHapusLho? Kok warung sih dok? bukannya kadang2 obat warung itu suka kadaluarsa yaa? bahkan si penjual suka ga ngeh klo jualannya udh expired. *pernah baca beritanya, soalnya*