Bukan suatu kesengajaan kalau akhirnya saya nonton KCB 2. Pagi tadi saya pergi ke (mantan) kosan, demi melunasi tagihan oleh2 untuk para (mantan) tetangga. Puas berbasa-basi, saya lanjutkan perjalanan ke klinik tempat kerja saya, dengan tujuan yang sama (nyetor oleh2), sekaligus meminta surat sehat untuk kelengkapan pendaftaran uji kompetensi. Ba’da dzuhur saya pulang dari klinik. Sesampainya di depan Arion, ternyata hujan. Jadilah saya putuskan untuk berteduh sebentar, sambil mencoba thowaf di Arion. Karena belum pernah menjelajah Arion, saya niatkan untuk melihat2 ke lantai atas, sampai ke tempat bioskop. Eh, ternyata jam tayang KCB 2 di salah satu studio tinggal setengah jam lagi. Haha. Yasudah, saya beli saja tiketnya.
Sambil menunggu pintu dibuka, saya sms beberapa teman sambil baca buku yang sebelumnya sempat saya beli di Gunung Agung. Dalam kondisi pikiran yang masih terinterferensi gempa Padang, dalam hati saya berpikir,”Kalo tiba2 gempa bisa gawat nih urusannya. Bisa tewas di bioskop. Su’ul khotimah dong. Haduh, gimana ya.”
Untungnya pintu studionya keburu dibuka. Haha! untungnya? Kok untung? :p
Saya tidak menonton KCB 1. Karena kata orang filmnya cacat, gara2 ada tulisan to be continued di bagian akhir. Tapi berhubung saya sudah tahu ceritanya, bukan masalah kalau saya langsung nonton jilid dua nya.
Film ini bagus, asli bagus. Islami, betul2 islami. Taushiyahnya meluber, baik yang tersirat atau tersurat. Adegan2 yang “ehm2” ternyata bisa disiasati dan tidak ditampilkan, tanpa mengurangi nilai estetisnya. Dialog2 saru model akad nikah, tidak disuarakan. Kontak fisik antar non mahram dalam arti yang sebenarnya (bukan mahram ketika di film), sangat diminimalisir. Tapi tetap saja, seperti salah satu dialog dalam film yang disarikan dari Al Hikam, syaithon itu menggoda dengan saaangat lembut.
Buat saya, menonton film ini sangat dilematis. Penuh pemandangan surga, tapi sekaligus beraroma neraka. Hadoohhh, jujur saja, sepanjang film ini saya terserang vertigo akut (eh, emang ada?). Kepala saya pening karena bingung mata ini mau diarahkan kemana, atau telinga ini kalo mau dibikin semi permeable gimana cara. Akhirnya, saya cuma bisa beristighfar, tapi pandangan masih ke layar, haha.
Sebagai seorang lajang konvensional, meskipun dibungkus dalam kemasan film islami, tetap saja panorama perempuan berparas ala bidadari surga tidak bisa di tak acuhkan begitu saja oleh mata saya. Dan gawatnya, pemandangan seperti itu bertaburan di sepanjang film. Mulai dari si kecil Sarah, sampai dr.Asmirandah. Telinga pun begitu. Ya.. gitu deh. Saya takut mendeskripsikannya. Memang seharusnya dibuat semi permeabel, tersaring timbre suara siapa yang harus ditolak, suara siapa yang boleh masuk sampai di otak, dan suara siapa yang boleh masuk sampai di hati.
Syaithon itu betul2 halus. Ketika seseorang tidak mempan digoda dengan dosa besar, dia akan melanjutkan dengan godaan dosa kecil. Ketika dosa kecil berhasil dihindari, berlebihan dalam hal yang mubah akan dibisikkannya. Jika masih belum mempan, dia akan berkata,”Lakuin ibadah yang enteng2 aja coy. Kalo gak, yang wajib aja dah, sunnahnya kaga usah.” Dan sebagai senjata pamungkas ketika semua strategi gagal, bid’ah dan berlebihan dalam agama akan menjadi andalannya.
Yah, diluar betapa halus&rapatnya jejaring syaithon yang saya rasakan selama nonton, film ini tetap patut mendapat apresiasi. Usaha Kang Chaerul Umam, Kang Abik, dan seluruh timnya, tetap saya hadiahi seluruh jempol, dan doa semoga bisa terus berkarya.
Meskipun vertigo, saya tetap sangat menikmati menonton film ini. Selain emosi yang teraduk-aduk –yang butuh usaha ekstra untuk tidak terlalu sering cengengesan dan berkaca-kaca-, kemiripan beberapa lakon dengan keseharian saya juga menambah daya tarik film ini buat saya pribadi. Dedy Mizwar yang berlagak medok mengingatkan saya akan Fuad, si Ustadz betawi yang suka bertutur jawa. Bu’e, tentu mengingatkan saya akan Bunda saya di rumah. Dan Lia, juga membawa memori saya terbang ke Malang, ke adik saya.
Sampai saat ini, film ini adalah adaptasi novel terbaik yang pernah saya tonton. Mungkin karena saya memang jarang nonton, haha. Atau karena ternyata saya masih orang Indonesia normal, yang sangat terobsesi dengan cerita yang happy end, khusnul khotimah. Karena seperti itu pula harapan saya untuk akhir saya nanti.
Wallahua’lam.