Selasa, 06 Oktober 2009
Pejabat Alas Kaki
Sepatu itu munafik. Di satu sisi, dia mengaku bahwa dirinya telah resmi dilantik dan memangku jabatan sebagai alas kaki. Untuk bisa menduduki jabatan tersebut, sepatu telah berkampanye dimana-mana bahwa dia bisa menjamin kesejahteraan kaki tuannya dari kejamnya jalanan. Mulai dari puntung-puntung rokok yang lupa dimatikan, ribuan kerikil-kerikil tajam, sisa-sisa permen karet yang bertebaran di tempat2 tak terduga, hingga panasnya aspal jalanan, telah dijanjikannya bisa ditangkal. Tapi, pada saat yang bersamaan, secara simultan, sepatu memberikan ancaman yang tidak kalah menakutkan buat kita: lecet. Lecet dan luka yang muncul pada kaki akibat bergesekan dengan sepatu tentu tidak kalah menyebalkan dengan nyeri karena tersundut rokok, menginjak kerikil, atau lepuh karena terbakar panasnya aspal.
Jika kita keukeuh untuk tidak melengserkan si sepatu dari jabatannya, kita akan dipaksa untuk merogoh kantong lebih dalam untuk membeli penangkalnya: kaos kaki. Dengan kaos kaki, teror lecet yang biasa ditebar oleh si sepatu tidak akan terlalu menakutkan. Tumit jadi lebih terlindung, jempol jadi lebih aman. Memakai sepatu pun terasa lebih nyaman. Sayangnya, masa jabatan kaos kaki biasanya lebih singkat. Ia sering diberhentikan dengan paksa oleh sepatu, yang mungkin kedudukannya memang lebih tinggi.
Pada periode yang berbeda, jabatan alas kaki terkadang dipegang oleh munafik yang lain, yang tidak kalah ganas: Sandal Jepit. Kebencian saya terhadap munafik yang satu ini sebelas-dua belas dengan sepatu –sang incumbent-. Setiap kali sandal jepit menjabat, kulit di sela jempol dan telunjuk kaki saya selalu jadi korban. Lecet. Sialnya, untuk menghadapi munafik yang ini, butuh kaos kaki lain yang juga tak kalah brengseknya, yaitu jenis yang meng-cover jari2, atau minimal memisahkan jempol dan empat jari lain. Saya bilang brengsek, karena meskipun bisa melindungi kaki dari bahaya laten sandal jepit, untuk mendapatkannya butuh perjuangan ekstra, karena lebih sulit dicari dan lebih mahal. Belum lagi, jika saya bersandal jepit ria senyampang menggunakan kaos kaki jenis ini, tidak terhitung banyaknya orang yang meledek karena gaya saya yang jadi serupa wanita.
Pejabat alas kaki favorit saya adalah –sebagaimana kebanyakan mahasiswa kedokteran- sandal model Crocs. Tentu saja yang tanpa logo dan tulisan crocs, yang dapat dibeli dengan harga miring, dan satu ukuran lebih besar daripada ukuran alas kaki saya yang biasanya. Tanpa banyak berjanji seperti sepatu, atau pura2 menawarkan solusi seperti sandal jepit, beliau mampu melakukan tugas jabatannya dengan nyaris sempurna. Punggung kaki cukup terlindung dari berbagai ancaman, tumit bisa bergerak leluasa tanpa khawatir lecet, ventilasi kaki cukup terjamin, dan telapak kaki pun bisa menapak dengan nyaman karena ketebalannya yang pas. Lagipula tidak dibutuhkan kaos kaki sebagai tambahan, karena beliau sangat jauh dari kemunafikan ala sepatu dan sandal jepit.
Saya tidak tahu mengapa tiba2 saya menulis tentang sepatu, sandal jepit, dan crocs bajakan. Setelah melihat banyaknya alas kaki yang bertebaran tidak beraturan di pelataran masjid pasca solat jumat, dan masih dalam nuansa gempa Sumatra, tiba2 energi dan pikiran negatif saya memerintahkan para jari untuk menulis.
Saya teringat suatu kali salah seorang Profesor saya pernah bercerita, bahwa di setiap kali terjadi bencana alam, selalu ada pihak yang bertingkah ala sepatu, bahkan sandal jepit. Pernah suatu perusahaan susu milik asing memberikan berton-ton sumbangan susu formula untuk korban gempa, yang ternyata kadaluarsa. Perusahaan raksasa asing lain, yang bergerak dalam industri farmasi, menyumbang ribuan kardus obat-obatan, yang setelah diteliti ternyata sudah kadung expired. Media terlanjur mengekspos bahwa perusahan X, Y, dan Z telah menunjukkan kepedulian mereka. Eh, ternyata kepedulian tersebut tidak lebih dari sekedar menciptakan incinerator gratis, atau minimal memiliki biaya operasional lebih murah. Ongkos pengolahan limbah kimia yang memang tidak murah, ternyata bisa disiasati menjadi gratis di negara ini. Tunggu saja ada bencana, lalu sumbangkan.
Suer, saya tidak bermaksud menuding atau menghujat siapapun. Tujuan saya murni cuma pingin berbagi, kok. Justru jangan sampai karena tulisan2 miring seperti ulah saya ini, niat kita untuk membantu jadi surut karena takut dicap sebagai sepatu, eh.., munafik maksud saya. Khawatir dibilang cari muka lah, aji mumpung lah, dan cap-cap negatif yang lain. Semua ada maqomnya masing2, dan wajib untuk membantu sesuai kemampuan dan kondisi masing2.
Kebetulan, saat ini saya belum bisa berbuat banyak, seperti sahabat2 saya yang lain. Tapi percayalah, getaran gempa yang dirasakan saudara2 kita di Padang, sangat terasa bahkan sampai ke Malang, Jawa Timur. Getaran itu sangat terasa di sini, di hati saya.
Wallahua’lam.
Malang, ba'da Jumatan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
hei.. coment yang ini kan dah di fb..
BalasHapuscuma mau ngasi tau.. page mu ku link ke blog ku..
ephy