Jumat, 04 Desember 2009

Ibrohnya Ibrohim


Tingkat saturasi kita pada tema yang satu ini mungkin sudah maksimal. Mulai dari Idul Adha pertama, bisa jadi khutbah yang disampaikan adalah juga tentang bagaimana kita mengambil pelajaran, hikmah, dan ibroh dari peristiwa qurban yang dieksekusi oleh Nabiyullah Ibrohim. Jika Anda lahir 1400 tahun yang lalu, Idul Adha kali ini mungkin jadi momen ke 1400an Anda mendengar tentang cerita Nabi Ibrohim. Beuhh.... Subhanallah, bisa jadi Anda seharusnya sudah jadi PhD tentang masalah qurban, dan hafal di luar kepala seluruh detail kejadian qurban tersebut. Bosan? Wajar saja. Membaca ulang diktat kuliah 2 kali saja saya sudah bosan, apalagi 1400 kali. Tapi anehnya, sudah 24 tahun ini setiap hari saya makan 3 kali sehari. Artinya, saya sudah makan sebanyak 365x3x24= 26.280 kali! Untungnya saya belum bosan, hehe, alhamdulillah^^

Mengulangi aktivitas kontemplasi tentang ibroh di balik perjalanan hidup Ibrohim setiap tahun, bisa jadi membuat kita jenuh. Tapi, dalam pembelajaran, pengulangan adalah salah satu proses yang paling penting. Jika kita ingin menjadi pakar dalam suatu hal, dengan melakukan hal tersebut secara repetitif, ratusan, ribuan, atau jutaan kali, insyaAllah akan mengantarkan kita mendekat ke arah tujuan tersebut. Silakan tanyakan pada Reggie Miller, berapa juta kali dia berlatih shooting sebelum menjadi three-pointer kelas wahid, andalan Indiana Pacers era 90an. Silakan wawancara David Beckham untuk tahu sudah berapa kali dia berlatih menendang untuk mendapatkan predikat pakar dalam akurasi tendangan bola mati. Atau silakan telefon ke akhirat, minta sambungkan dengan Marcus Tullius Cicero, dan tanya langsung berapa banyak dia mengulang latihan orasi, sehingga didapuk menjadi orator terciamik sepanjang sejarah manusia. Yah, begitulah buah keistiqomahan untuk melakukan repetisi.

Dari sekian banyaknya ibroh yang mengucur deras dari hidup Ibrohim, kali ini ember saya cuma mampu menampung tiga. Pertama, bahwa syariat Allah adalah solusi. Hal ini mutlak, absolut, tidak dapat diganggu dan digugat. Sejanggal apapun suatu perintah atau larangan yang telah disyariatkan oleh Allah, pasti terdapat kebaikan diujungnya, dan melakoninya adalah password kesuksesan dunia-akhirat. Tidak layak kata aneh disandingkan berdekatan dengan ketentuan Allah. Karena yang namanya janggal, aneh, ganjil, dan tidak masuk akal, adalah istilah yang hanya dikenal dalam kamus logika manusia, yang terbatas oleh daya jangkau indra seorang makhluk yang jauh di bawah kapasitas Allah. Jadi, aplikasi dari ibroh yang pertama ini adalah -seperti yang Nike bilang- Just Do It. Begitu kita mengetahui suatu perintah, lakukan. Begitu kita tahu bahwa Allah melarang, tinggalkan. Hikmah akan muncul belakangan, seperti domba yang menjadi substitusi posisi Ismail. Keluarnya belakangan kan? (Mbeeekk..)^^

Fokus pada pembinaan generasi penerus adalah ibroh yang kedua. Ini tidak perlu diperdebatkan, karena kita semua tahu bahwa Ibrohim adalah bapaknya para Nabi. Anaknya dua-duanya nabi, cucunya nabi, cicitnya nabi, sampai berujung pada Rasulullah Muhammad Saw. Bisa dibayangkan orang tua seperti apa yang mampu menghasilkan generasi penerus yang berkelas nabi, keturunan yang memiliki hati sejernih Ismail, kesabaran sekelas Ya’kub, ketampanan selevel Yusuf, dan kesempurnaan pribadi sekualitas Muhammad. Bukan kebetulan jika Ibrohim dikarunia keturunan dengan kualitas nomer satu. Karena ketika Allah menganugrahkan predikat pemimpin manusia kepadanya, Ibrohim pun memohonkan posisi dan kompetensi yang serupa untuk anak-cucunya. “Wa min dzurriyyati?” begitu kata Ibrohim.
Ingat hadits tentang tiga perkara yang tidak akan terputus aliran pahalanya? Salah satunya adalah anak yang shalih, yang senantiasa mendoakan orang tuanya. Saya tidak mampu membayangkan derasnya aliran doa dari puluhan Nabi, yang senantiasa teriring dan mengalir untuk Ibrohim AS.

Orang yang besar, adalah orang yang mampu melakukan hal-hal besar. Ini adalah ibroh ketiga, ibroh terakhir yang mampu saya tampung saat ini. Waktu seseorang, jika tidak dihabiskan untuk melakukan hal-hal besar, maka akan habis untuk hal-hal yang kecil. Sepanjang usianya, Ibrohim sudah teruji mampu mengeksekusi perkara-perkara besar, mulai dari berkonfrontasi dengan ayahnya sendiri, mencari Tuhan, mengkudeta Namrudz, steril hingga usia lanjut, diperintahkan untuk menyembelih Ismail, membangun ka’bah hanya berdua, dan seterusnya. Puncaknya, Allah menganugrahkan kedudukan sebagai Imam seluruh umat manusia kepadanya. “Dan Ingatlah ketika Ibrohim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrohim menunaikannya dengan sempurna. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia” (2:124)
Kita? Seringkali kita menghindar mengerjakan perkara-perkara berisiko hanya untuk cari selamat, agar tidak pernah ketahuan gagal. Jadi mahasiswa selalu ingin diuji oleh dosen2 baik. Jadi dokter tapi hanya berani menangani pasien batuk pilek, atau pasien2 baksos. Jadi pengusaha tapi selalu kuatir untuk membuka bisnis baru. Jadi karyawan tapi selalu nyaman dengan bidang yang sudah biasa digarap, dan tidak berani mengambil risiko ketika diserahi amanah yang lebih berat. Mau jadi orang besar dengan cara seperti ini? Jangan harap.

Saya doakan, semoga ember Anda lebih besar, untuk dapat menampung lebih banyak ibroh yang bercucuran dari hidup Nabi Ibrohim. Pertanyaan terakhir dari saya, meskipun kita mengetahui bahwa Rasulullah Muhammad adalah Nabi penutup, yang paling mulia, tapi mengapa setiap tahiyat kita selalu mendoakan agar beliau mendapat keselamatan dan berkah yang setara dengan Ibrohim? Jadi mana yang sebetulnya lebih mulia? Muhammad atau Ibrohim? “Laa nufarriqu baina ahadim mirrusulih.” Mungkin pertanyaan ini tidak perlu dijawab.
Selamat Idul Adha.
Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar